Main content

Dengarkan audionya:

Oleh Lina Noviandari, Knowledge Management Consultant Strategic Partnership Green and Inclusive Energy

Tahun ini, RUU Energi Terbarukan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas. Meski sudah diusulkan sejak 2017 dan masuk dalam pembahasan DPR RI periode 2014-2019, penyusunan RUU ini tidak kunjung rampung sehingga berlanjut pada periode sekarang. Gagasan UU Energi Terbarukan sendiri ditujukan untuk menjadi payung hukum bagi pengembangan dan pengelolaan energi terbarukan di Indonesia.

Guna memberikan pendalaman dan pemahaman materi terkait RUU Energi Terbarukan kepada para jurnalis, pada 24 Januari 2020 lalu, Mongabay menyelenggarakan media briefing bertajuk Journalist Learning Forum atau Forum Belajar Jurnalis untuk Energi Terbarukan di Jakarta. Dikemas dalam bentuk diskusi, forum ini merupakan bagian dari rangkaian program Media Fellowship yang dijalankan oleh Mongabay dengan dukungan dari Hivos melalui kerangka Strategic Partnership for Green and Inclusive Energy (SP-Energy).

Pada media briefing kali ini, Mongabay mengundang Grita Anindarini, Peneliti Divisi Pengendalian Pencemaran di Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), untuk memaparkan proses dan substansi RUU Energi Terbarukan. Selain para jurnalis dari Mongabay, acara ini juga dihadiri oleh jurnalis dari berbagai media arus utama di Indonesia termasuk di antaranya adalah The Jakarta Post, Tirto, dan Kontan.

Grita mengawali diskusi dengan secara ringkas memaparkan proses dan uraian naskah akademik yang menjadi landasan penyusunan RUU EBT. Dalam paparannya, Grita menjelaskan bahwa naskah akademik yang ada masih memiliki banyak celah dan belum kuat untuk dijadikan landasan penyusunan RUU EBT.

Grita mencontohkan, di dalam naskah akademik disebutkan bahwa UU EBT diperlukan karena UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi saat ini belum cukup mengakomodir pengaturan EBT. Padahal, menurut Grita, kekosongan hukum yang dimaksud merupakan masalah implementatif yang pada dasarnya sudah diatur dalam UU Energi, namun belum dilaksanakan. Misalnya, Peraturan Pemerintah (PP) tentang EBT yang diamanatkan dalam UU tersebut tidak kunjung diterbitkan sehingga selama ini diatur dalam level Peraturan Menteri yang cenderung sering berubah dan mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum.

RUU EBT atau RUU ET?

Selain tentang kajian tentang RUU EBT yang kurang mendalam, Grita juga menyampaikan permasalahan terkait fokus dan penamaan RUU ini sendiri. Berdasarkan naskah akademik yang disusun, RUU ini nantinya akan mengatur energi baru dan terbarukan, sehingga bernama RUU EBT. Namun, menurut Grita, fokus dan penamaan ini dirasa tumpang tindih.

Pasalnya, sumber energi seperti migas, batubara, hingga nuklir sudah mempunyai UU sendiri. Oleh karena itu, akan lebih baik jika energi baru seperti batubara tercairkan, gas metana batubara atau nuklir diatur dalam UU energi terkait yang sudah ada. Grita berpendapat bahwa seharusnya pemerintah lebih berfokus pada energi terbarukan yang, selain lebih ramah lingkungan dibanding energi baru, memang belum diatur dalam sebuah UU khusus.

Selain karena tumpang tindih, Grita khawatir diaturnya energi baru dan energi terbarukan dalam UU yang sama akan berdampak pada perkembangan ET. Menurutnya, jika memang energi baru harus dimasukkan dalam RUU ini, seharusnya perlakuan terhadap energi baru dan energi terbarukan dibedakan. Terkait insentif misalnya, Grita menjelaskan “Takutnya, jika tidak dibedakan aturannya, dananya malah akan [lebih banyak] lari ke energi baru seperti nuklir.” Padahal, menurut Grita, jika tujuan akhirnya adalah untuk mengurangi ketergantungan terhadap sumber energi fosil dan komitmen menurunkan emisi gas rumah kaca, maka sudah semestinya pemerintah berfokus pada energi terbarukan, bukan energi baru yang belum tentu ramah lingkungan.

previous arrow
4
4
6
6
5
5
next arrow