Main content

Dengarkan audionya:

Pada tanggal 22 Oktober 2018, Hivos dan KPPPA kembali mengadakan Forum Komunikasi yang ketiga, dengan mengundang pihak pemerintah dan nonpemerintah, untuk memberikan masukan konkret terkait dengan upaya melakukan integrasi gender dalam sektor energi terbarukan di Indonesia. Lembaga-lembaga lainnya yang hadir di antaranya adalah Sekretariat SDGs, Bappenas, Kementerian Keuangan, YLKI, Koalisi Perempuan Indonesia, Koaksi indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup, WWF Indonesia serta Yayasan Rumah Energi. Pertemuan ini diadakan di Penang Bistro, Kebon Sirih, Jakarta. Dua forum sebelumnya dilaksanakan pada bulan April dan Juli 2018.

Forum Komunikasi ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai kegiatan-kegiatan integrasi gender dalam sektor energi terbarukan di Indonesia, yang saat ini sedang dilakukan oleh berbagai pihak, baik oleh pemerintah maupun nonpemerintah. Beberapa yang teridentifikasi adalah upaya untuk melakukan gender tagging di dalam alokasi pendanaan oleh Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan. Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) juga memiliki kegiatan di Salatiga, Jawa Tengah, untuk menguatkan kapasitas perempuan dalam melakukan advokasi terkait energi terbarukan dan peran perempuan.

KPPPA sendiri telah menyusun dua kajian terkait integrasi gender di dalam sektor energi terbarukan, serta panduan integrasi gender untuk akses dana alokasi khusus pembangunan pembangkit listrik skala kecil. KPPPA juga terlibat di dalam platform Sumba Iconic Island (SII) yang merupakan program dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE). KPPPA juga mengidentifikasi kegiatan Hivos di desa Lukuwingir, Sumba Timur, sebagai salah satu model integrasi gender di dalam sektor energi terbarukan di Indonesia. KPPPA juga mengidentifikasi kegiatan KPI di Salatiga dan Kabupaten Semarang sebagai salah satu model integrasi gender dalam sektor energi terbarukan di Indonesia.

Model integrasi gender di dalam sektor energi terbarukan di Indonesia

Lukuwingir

Desa Lukuwingir berada di kabupaten Sumba Timur, menjadi lokasi untuk membuat model integrasi gender dalam sektor energi terbarukan, yang terpilih di antara 4 kabupaten di Pulau Sumba, atas usulan dari DP3AP2KB (Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana), kabupaten Sumba Timur. Pada bulan Agustus 2018, KPPPA melakukan kunjungan dan lokakarya yang dipimpin oleh Sekretaris Daerah Lukuwingir, yang juga dihadiri oleh OPD (Organisasi Perangkat Daerah) terkait.

Hingga kini, beberapa perkembangan telah terjadi terkait dengan inisiatif model gender di sektor energi terbarukan di Indonesia. Beberapa OPD telah melakukan komitmen yang mereka sampaikan pada pertemuan di bulan Agustus 2018 yang lalu. Contohnya, Dinas Perikanan telah memberikan bibit ikan kepada desa Lukuwingir. DP3AP2KB telah melakukan sosialisasi terkait dengan pemahaman gender di tingkat pelajar SMP-SMA.

Agam Bekti Nugraha, Kabid Kesetaraan Gender KPPPA, menyatakan bahwa di dalam Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019, salah satu keberhasilan program KPPPA ditandai dengan meningkatnya keterwakilan perempuan di dalam proses pengambilan keputusan. KPPPA mendorong agar perempuan berkiprah dalam pengambilan keputusan dari desa (Musrenbangdes) hingga ke level tertinggi (legislatif/DPR).

Pembelajaran dari Lukuwingir adalah walaupun kesempatan perempuan terbuka luas, namun terkadang persyaratan dasar tidak dapat dipenuhi oleh kebanyakan perempuan. Misalnya, ketika dibuka lowongan kerja pegawai pemerintahan, perempuan dapat mengajukan lamarannya. Namun, karena kebanyakan perempuan tidak mendapatkan akses pendidikan yang layak, maka banyak perempuan yang tidak dapat memenuhi syarat pendidikan yang diharapkan. Mungkin di kemudian hari, dapat diadakan kejar paket C, yang bisa mendongkrak tingkat pendidikan perempuan di Lukuwingir.

Agam kemudian menambahkan bahwa ini merupakan sebuah peluang untuk melakukan intervensi di sektor pendidikan, sehingga kebijakan-kebijakan yang dapat mendorong perempuan untuk meningkatkan pendidikan mereka, dapat dikeluarkan.

Salatiga

YLKI bersama Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) saat ini sedang dalam tahap awal mengerjakan kegiatan bersama di Jawa Tengah, tepatnya di kota Salatiga dan kabupaten Semarang. YLKI ingin memotret pola penggunaan energi di 5 daerah, di antaranya: satu daerah dekat dengan Boyolali, kota Salatiga dan Blotongan. Konsumen di daerah tersebut masih menggunakan sumber energi ganda untuk memasak, yaitu menggunakan gas elpiji dan juga kayu bakar. Tungku dengan bahan bakar kayu bakar digunakan untuk merebus air, sedangkan untuk memasak atau menghangatkan makanan, konsumen setempat menggunakan gas elpiji. Secara keuangan, perilaku seperti ini tentunya tidak efisien. YLKI berpendapat bahwa kota Salatiga harus mendapatkan edukasi mengenai energi, lantaran kebanyakan perempuan di sana tidak memiliki pemahaman dasar mengenai energi. Misalnya hal-hal terkait dengan asal mula energi, serta hal-hal terkait dengan hak-hak konsumen.

Bagi Koalisi Perempuan Indonesia, ibu-ibu yang tergabung dalam Balai Perempuan di Salatiga, berniat untuk mendorong Perda terkait energi terbarukan khusus di Kota Salatiga. Balai Perempuan di kota Salatiga sudah melakukan audiensi dengan pemerintah Salatiga, dan mendapatkan sambutan baik. Hal ini membuka kesempatan bagi Balai Perempuan setempat, bahwa pada saat perencanaan anggaran atau penyusunan RUED (Rencana Umum Energi Daerah), maka sebanyak 30 persen perempuan dengan partisipasi aktif, akan dilibatkan.

Gender Budgeting/Tagging

Badan Kebijakan Fiskal (BKF) melakukan kajian bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait isu integrasi gender dalam kegiatan perubahan iklim, dalam gender tagging. BKF memilih 2 pilot project yang berasal dari Kementerian ESDM dan KLHK. Sejauh ini KLHK sudah memiliki banyak anggaran yang disusun dengan menggunakan Gender Budget Statement (GBS), namun belum melaksanakan gender tagging. Berdasarkan diskusi antara Kementerian ESDM dan KLHK, mereka berharap ada peran dari KPPPA untuk memasukkan gender tagging dalam sistem anggaran yang disebut dengan KRISNA.

Terkadang tidak adanya gender tagging pada rencana anggaran bisa disebabkan karena masalah teknis atau administrasi, misalnya waktu yang cukup sempit ketika mengisinya.

Sebaiknya harus ada kerjasama antara kementerian teknis yakni BAPPENAS, KPPPA dan Kementerian Keuangan untuk menentukan tagging. Hal ini penting karena jika Kementerian Keuangan bekerja sendiri, maka dikhawatirkan pemilahan tagging bisa jadi kurang tepat. Persoalan berikutnya adalah menentukan tagging yang tepat untuk energi terbarukan pada sistem perencanaan di dokumen keuangan, atau kalimat anggaran yang tepat. Jika proses ini tidak ada, maka hasilnya akan selalu umum; dan data terpilah yang diinginkan tidak akan diperoleh.

Peluang untuk pelaksanaan integrasi gender dalam sektor energi terbarukan yang lebih baik

Permasalahan yang sering dikeluhkan oleh pihak pemerintah dalam integrasi gender adalah hilangnya data terpilah (laki-laki dan perempuan) pada perencanaan anggaran atau laporan di tingkat kementerian. Untuk mendapatkan gambaran nasional, data didapat melalui dua jalur yaitu melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan pelaporan administratif Kementerian Lembaga. Namun dalam pelaksanaannya, BPS (Biro Pusat Statistik) masih belum bisa menyajikan data dan indikator SDGs (Sustainable Development Goals) yang terpilah—baru beberapa saja.

Jalur kedua yang dapat ditempuh adalah melalui pelaporan administratif kementerian/lembaga. Walau demikian, umumnya data sudah tercampur, meskipun di awal survei sudah jelas ada pemisahan datanya. Format yang diberikan oleh pemerintah juga seringkali tidak memadai atau tidak sesuai dengan keadaan daerah. Selain itu, belum ada sistem untuk mengetahui bahwa sebuah proyek sudah responsif gender atau belum, bahkan belum tercantum di buku panduan RUED. Untuk tagging, pada RKT (Rencana Kerja Tahunan) belum ada indikator untuk gender.

Menanggapi hal ini, disarankan agar inisiatif yang ada di Lukuwingir juga ditujukan sebagai pilot project untuk pembenahan data terpilah di dinas setempat, sehingga hal ini menjadi pendorong yang cukup kuat untuk mengumpulkan data terpilah di tingkat nasional.

Terkait teknis pelaksanaan kegiatan, ada beberapa masukan dari peserta pertemuan kali ini, yaitu:

  • Perlunya wadah untuk memuat dokumentasi kegiatan, berupa pool data atau portal yang memungkinkan anggota forum untuk berkontribusi. Telah disepakati pada pertemuan ini bahwa KPPPA dan Sekretariat SDGs yang akan menjadi leader untuk pendokumentasian. Data akan dimuat di situs web SDGs dan KPPPA dengan linkback ke masing-masing situs.
  • Untuk kegiatan lapangan, jika kita ingin melibatkan ibu-ibu sebagai beneficiaries, kegiatan harus menyesuaikan dengan siklus hidup mereka. Misalnya, dengan menyesuaikan kegiatan yang dilakukan dengan waktu perempuan beraktivitas. Hal lain yang dapat dilakukan juga adalah untuk mengusahakan agar undangan-undangan kegiatan ditujukan kepada ibu-ibu, bukan kepala rumah tangga.
  • Pada dialog kebijakan akan lebih baik jika ada perwakilan dari Bappenas atau KPPPA yang hadir, sehingga walikota atau pemerintah daerah setempat menjadi lebih bersemangat berpartisipasi dalam kegiatan.

Selain hal-hal yang sudah disebutkan di atas, ada beberapa peluang terkait keterlibatan aktor lain yang perlu dijajaki lebih jauh di dalam Forum Komunikasi Integrasi Gender dan Energi seperti ini, antara lain:

  • Berkomunikasi dengan Kementerian Pertanian terkait bantuan untuk pengelolaan biogas di Lukuwingir. Biogas merupakan salah satu kegiatan terkait energi terbarukan yang teridentifikasi, yang dapat menjembatani kesenjangan gender;
  • Melibatkan pihak-pihak yang fokus dengan energi terbarukan, seperti sektor swasta dan mitra pembangunan lainnya;
  • Melibatkan NGO yang bersifat faith-based (seperti NU dan beberapa lembaga lain seperti LAZISNU, Lakpesdam) yang juga memiliki inisiatif di sektor energi;
  • Melibatkan asosiasi atau organisasi dengan potensi energi terbarukan lainnya, seperti Asosiasi Energi Surya;
  • Memperkenalkan dan mengajak sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), yaitu inisiatif 8 kabupaten yang ingin berfokus dalam percepatan implementasi visi-misi pembangunan berkelanjutan, untuk bergabung dalam Forum Komunikasi ini.

Di akhir acara, anggota forum sepakat untuk bertemu lagi pada Forum Komunikasi selanjutnya di minggu ketiga bulan Desember 2018.

[player id=988]