Main content

Dengarkan audionya:

Paris Agreement (Kesepakatan Paris) merupakan sebuah kesepakatan internasional perubahan iklim, yang diratifikasi oleh 184 negara Pihak (Parties) dari 197 negara Pihak Konvensi Perubahan Iklim. Lahir di COP 21 Paris pada tahun 2015, Paris Agreement diharapkan dapat memasuki masa implementasinya setelah tahun 2020. Untuk memastikan implementasi Paris Agreement dapat dilakukan secara optimal setelah tahun 2020, COP kemudian membentuk Ad hoc Working Group on Paris Agreement (APA), yang bertugas untuk menyusun modalitas yang diperlukan untuk implementasi Paris Agreement. Berdasarkan keputusan 1/CP 21 para 8, dinyatakan bahwa APA harus menyiapkan proses entry into force dari Paris Agreement dan disetujui pada Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Paris Agreement (CMA), pada sesinya yang pertama.

Tanpa diduga, Paris Agreement telah memenuhi batas minimum jumlah negara yang meratifikasi pada tanggal 5 Oktober 2016, yang mendorong Paris Agreement secara resmi memasuki masa entry into force di tahun 2016. Kejadian ini termasuk kejadian luar biasa, karena pada saat itu, modalitas untuk implementasi Paris Agreement belum disusun dan disepakati. Itu sebabnya, semenjak COP 22 di Marakesh, Maroko, CMA 1 tidak pernah ditutup, untuk memberikan ruang dan waktu pada Negara-negara Pihak dalam menyusun modalitas untuk implementasi Paris Agreement, atau yang disebut dengan Rulebook.

Sesi di Katowice, Poland yang dilaksanakan pada tanggal 2-14 Desember 2018 merupakan sesi COP 24, CMP 14, dan CMA 1.3. Pada sesi ini, Negara Pihak diharapkan dapat menyepakati dan mengadopsi aturan main untuk mengimplementasikan Paris Agreement, atau Rulebook. Katowice telah menghasilkan Rulebook, walaupun masih meninggalkan implementasi dari Artikel 6 Paris Agreement, yang mana ketentuan untuk menggunakan mekanisme market dan non-market masih belum disepakati dan akan dilanjutkan pada sesi intersession di tahun 2019 mendatang.

Pada saat yang sama juga, dunia telah kehilangan salah seorang negosiator senior pendanaan perubahan iklim, Bernaditas Muller, yang dikenal sebagai seorang negosiator ulung, berdedikasi tinggi, dalam memperjuangkan pendanaan perubahan iklim untuk mengalir dari negara maju kepada negara berkembang, sejak awal COP UNFCCC hingga COP 23 yang lalu di Bonn. Sebagai koordinator negosiasi pendanaan perubahan iklim dari kelompok G77 dan China, Bernaditas telah membawa perubahan signifikan dalam negosiasi perubahan iklim dunia.

Hivos Southeast Asia mengirimkan delegasinya, Henriette Imelda, yang mengikuti perkembangan isu pendanaan perubahan iklim (climate finance) di COP 24 Katowice, Polandia pada tanggal 2-14 Desember 2018.

Hal-hal krusial di dalam negosiasi pendanaan perubahan iklim

Negosiasi terkait dengan pendanaan iklim memang menjadi salah satu agenda yang bisa dikatakan paling terakhir disepakati di hampir setiap COP. Pada COP 24 ini, pembahasan terkait dengan Paris Agreement Working Programme (PAWP) menjadi isu yang dibahas selama dua minggu non-stop, dengan intensitas tinggi. Walau demikian, pembahasan terkait dengan guidance untuk operating entity pendanaan perubahan iklim juga melalui negosiasi yang panjang.

Implementasi dari Paris Agreement

Implementasi dari Paris Agreement terkait dengan pendanaan perubahan iklim memiliki beberapa komponen, yaitu:

  1. Informasi terkait dengan indikasi ketersediaan pendanaan serta penggunaan dana perubahan iklim. Agenda ini biasa disebut dengan Artikel 9.5 (indikasi pendanaan perubahan iklim) dan Artikel 9.7 (pelaporan aliran pendanaan perubahan iklim)
  2. Guidance untuk operating entity yang mengelola mekanisme pendanaan perubahan iklim
  3. Guidance untuk Standing Committee on Finance yang merupakan entitas di bawah COP yang berfungsi untuk memberikan masukan kepada COP dalam menjalani fungsinya yang terkait dengan pendanaan perubahan iklim
  4. Penentuan target mobilisasi pendanaan perubahan iklim setelah tahun 2020

Informasi terkait dengan indikasi ketersediaan pendanaan serta aliran pendanaan perubahan iklim

Pendanaan untuk implementasi Paris Agreement tentu saja diperlukan; terutama untuk mencapai tujuan global jangka panjang sebagaimana yang tertera di dalam Artikel 2 dari Paris Agreement. Pendanaan diperlukan untuk melakukan aksi mitigasi yang ambisius, aksi adaptasi, namun juga yang harus dipastikan adalah aliran pendanaan harus dapat berkontribusi pada pembangunan rendah karbon yang tangguh terdapat dampak dari perubahan iklim. Untuk memastikan hal tersebut terjadi, dua hal akan diperlukan: pertama adalah informasi mengenai bagaimana pendanaan perubahan iklim akan dimobilisasi dan disediakan oleh negara maju, serta kontribusinya pada aksi-aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, yang disebut dengan informasi ex-ante dan tercantum pada Artikel 9.5 dari Paris Agreement. Hal kedua yang diperlukan adalah gambaran mengenai pendanaan yang telah diberikan oleh negara maju kepada negara berkembang, dan bagaimana pendanaan tersebut berkontribusi pada pemenuhan kebutuhan negara berkembang dalam mencapai target nasional mereka terkait dengan perubahan iklim, serta instrumen apa saja yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Informasi ini disebut sebagai informasi ex-post, dan tercantum di dalam Artikel 9.7 dari Paris Agreement.

Memasuki masa implementasi Paris Agreement, maka kategori negara yang digunakan tidak lagi menggunakan Annex I dan non-Annex I, namun dengan menggunakan istilah negara maju (developed countries) dan juga negara berkembang (developing countries). Isu diferensiasi negara ini akan menentukan siapa yang melakukan pelaporan dan dengan basis apa; apakah wajib ataupun secara sukarela. Hal ini tentu saja berbeda dengan kondisi saat UNFCCC pertama kali muncul. Karena pada saat itu status dan situasi negara berkembang dan negara maju sangat berbeda. Berdasarkan diferensiasi ini, Indonesia, seharusnya bisa menjadi negara yang dapat, secara bertahap, melakukan hal-hal yang dimintakan kepada negara maju.

Mekanisme Pendanaan Perubahan Iklim yang menjadi bagian dari Paris Agreement

Adaptation Fund

Pendanaan lainnya adalah yang terkait dengan dana Adaptasi yang berada di bawah Kyoto Protocol, atau yang disebut dengan Adaptation Fund. Keunggulan dari Adaptation Fund adalah mekanisme ini menyediakan pendanaan yang memberikan 100 persen hibah, serta mendanai kegiatan adaptasi. Namun, terkait dengan akan diimplementasikan Paris Agreement, jika Negara Pihak tidak sepakat untuk mengadopsi Adaptation Fund di era Paris Agreement, maka Adaptation Fund tidak dapat lagi digunakan. Itu sebabnya, proses negosiasi yang berlangsung di bawah agenda ini lebih banyak bersifat prosedural.

Salah satu isu yang diperdebatkan cukup lama adalah sumber pendanaan dari Adaptation Fund, dan juga komposisi Dewan Adaptation Fund, yang awalnya berasal dari negara-negara yang hanya meratifikasi Kyoto Protocol, namun sekarang harus mengakomodasi negara-negara yang meratifikasi Paris Agreement.

Sumber pendanaan dari Adaptation Fund di bawah rejim Kyoto Protocol bersumber dari Share of Proceed (SoP) dari mekanisme Clean Development Mechanism, atau mekanisme pembangunan bersih, yang dihasilkan oleh negara berkembang dalam bentuk Certified Emission Reduction (CER). CER yang dihasilkan kemudian akan dipotong sebesar 2 persen dari total CER, dan kemudian dimonetisasi sesuai dengan kebutuhan pendanaan. Namun, dikarenakan harga karbon yang terus menurun, maka pemasukan Adaptation Fund yang berasal dari CER menjadi jauh berkurang dari yang awalnya diperkirakan. Itu sebabnya, selama beberapa tahun terakhir, Adaptation Fund membuka pilihan sumber pendanaan lainnya, yaitu melewati kontribusi sukarela dari negara maju selain dari monetisasi CER.

Belajar dari hal tersebut, di era Paris Agreement, sumber pendanaan Adaptation Fund kemudian menjadi hal yang sangat krusial, untuk memastikan Adaptation Fund dapat melaksanakan mandatnya, serta beroperasi sesuai dengan kealamiannya: menggunakan instrumen hibah dan mendanai kegiatan adaptasi secara keseluruhan.

Pada akhirnya, Negara Pihak dari Paris Agreement (CMA) memutuskan bahwa Adaptation Fund dapat menjadi bagian dari Paris Agreement, dengan implikasi bahwa Adaptation Fund Board akan memiliki anggota yang terdiri dari perwakilan negara-negara berkembang dan juga negara-negara maju, sesuai dengan istilah yang berlaku di bawah Paris Agreement. CMA juga menyepakati sumber pendanaan dari Adaptation Fund akan berasal dari Share of Proceeds (SoPs) dari mekanisme Artikel 6.4 (mekanisme pasar) dari Paris Agreement, dan juga kontribusi publik dan juga sektor swasta yang diberikan secara sukarela.

Global Environmental Facility (GEF)

Terkait dengan pendanaan di bawah GEF, Negara Pihak menyatakan kekhawatirannya terhadap menurunnya alokasi pendanaan untuk focal area perubahan iklim di replenishment GEF yang ketujuh, termasuk alokasi dari STAR (System for Transparent Allocation of Resources) Allocation dibandingkan dengan replenishment GEF yang keenam.

STAR allocation merupakan alokasi pendanaan untuk negara berkembang, yang mana dengan sejumlah pendanaan tertentu, negara yang mendapatkan alokasi STAR tidak perlu berkompetisi dengan negara yang lain. Itu sebabnya, menurunnya alokasi pendanaan GEF melalui STAR allocation menjadi kekhawatiran bagi negara berkembang, untuk melakukan kegiatan terkait perubahan iklim.

Green Climate Fund (GCF)

Guidance untuk Green Climate Fund yang merupakan mekanisme pendanaan dari COP menitikberatkan pada pentingnya proses replenishment GCF yang pertama di bulan Oktober 2019 yang akan datang. Keputusan COP 24 menyatakan pentingnya komitmen negara-negara kontributor, untuk dipenuhi pada proses replenishment pertama ini. Hal ini karena berdasarkan pengalaman sebelumnya, komitmen sebesar USD 10,3 milyar sebagaimana yang tercetus pada tahun 2014, masih banyak yang belum terealisasi. Hingga saat ini, dana yang telah diterima oleh GCF adalah USD 7 milyar dari USD 10,3 milyar yang dijanjikan. Mengingat pentingnya ketersediaan dan kejelasan pendanaan untuk melakukan kegiatan-kegiatan perubahan iklim, maka negara-negara yang telah mencanangkan komitmen mereka, diharapkan untuk dapat memenuhinya.

Ketersediaan pendanaan perubahan iklim jangka panjang

Salah satu agenda di dalam negosiasi pendanaan perubahan iklim terkait dengan ketersediaan pendanaan perubahan iklim jangka panjang. Terdapat dua agenda yang membahas ketersediaan pendanaan ini: long-term finance dan setting a new collective quantified goal on finance.

Long-term finance berkaitan dengan isu pendanaan perubahan iklim yang akan disediakan oleh negara maju hingga tahun 2020, sebesar USD 100 milyar. Bentuk kegiatan yang dilakukan oleh long-term finance ini adalah lokakarya terkait ragam upaya negara maju untuk memobilisasi pendanaan perubahan iklim. Lokakarya yang dilakukan di tahun 2018 bukan hanya mengenai upaya mobilisasi pendanaan, namun juga mengidentifikasi kebutuhan negara berkembang, yang memerlukan pendanaan perubahan iklim hingga tahun 2020. Berdasarkan keputusan COP 24 yang lalu, long-term finance akan melakukan in-session workshops di tahun 2019 dan 2020. In-session workshops ini menitikberatkan pada efektivitas pendanaan perubahan iklim, termasuk hasil dan dampak dari pendanaan yang disediakan dan dimobilisasi, serta hubungan antara penyediaan dukungan pendanaan dan teknis pada negara berkembang pada aksi-aksi adaptasi dan mitigasi negara-negara berkembang. Ada pun kegiatan-kegiatan tersebut harus dapat berkontribusi pada pencegahan peningkatan temperatur rata-rata global tidak melebihi 2oC  di atas tingkat pre-industri, hingga mendorong upaya-upaya untuk mencegah kenaikan temperatur agar tidak melebihi 1,5o C.

Agenda lainnya yang membicarakan mengenai ketersediaan pendanaan perubahan iklim setelah 2020 atau setting new collective quantified goal on finance, memutuskan bahwa di bulan November 2020, proses untuk menentukan new collective quantified goal akan dimulai. Penentuan waktu dimulainya proses ini merupakan hal yang sangat penting terutama bagi negara berkembang, karena menunjukkan adanya komitmen dari seluruh Pihak untuk memberikan kepastian terkait dengan ketersediaan pendanaan perubahan iklim setelah tahun 2020.

Standing Committee on Finance

Standing Committee on Finance adalah sebuah entitas di bawah COP yang dibentuk untuk memberikan dampingan kepada COP untuk melakukan fungsinya yang terkait dengan mekanisme pendanaan dari Konvensi Perubahan Iklim. Salah satu kegiatan SCF adalah membuat Biennial Assessment terkait aliran pendanaan perubahan iklim yang ada, setiap dua tahun sekali. Pada tahun 2018, SCF telah menyelesaikan Biennial Assement-nya yang ketiga.

Biennial Assessment ketiga yang diselesaikan oleh SCF memiliki tambahan komponen yang mana terdapat sub-bab yang memuat informasi tentang aliran pendanaan perubahan iklim sesuai dengan Artikel 2.1c dari Paris Agreement, yang menetapkan bahwa aliran pendanaan perubahan iklim harus mengalir ke kegiatan-kegiatan pembangunan yang rendah karbon dan tangguh terhadap perubahan iklim. Komponen tambahan ini diminta oleh COP untuk dilanjutkan pada penyusunan Biennial Assessment berikutnya.

Pandangan menyeluruh terkait dengan pendanaan perubahan iklim

Secara keseluruhan, hasil COP 24 terkait dengan pendanaan perubahan iklim saat ini masih cukup positif dalam memastikan adanya aliran pendanaan perubahan iklim untuk mendanai kegiatan-kegiatan pembangunan yang rendah karbon dan tangguh terhadap dampak perubahan iklim. Hal ini ditandai dengan adanya kerangka waktu yang jelas untuk menentukan strategi mobilisasi pendanaan apa saja yang dapat dilakukan, untuk memenuhi jumlah pendanaan perubahan iklim yang disepakati yaitu USD 100 milyar per tahun hingga 2025, yang mana setelah tahun 2025, pendanaan perubahan iklim yang tersedia minimum menjadi USD 100 milyar per tahun.

Hasil identifikasi kebutuhan pendanaan perubahan iklim dan kemungkinan solusi yang tergali melalui serangkaian lokakarya terkait dengan long-term finance juga memberikan indikasi terkait pendanaan perubahan iklim seperti apa yang diperlukan, untuk dapat membantu negara-negara berkembang mencapai tujuan tertinggi dari Paris Agreement. Hal ini memberikan sinyal kepada negara maju, terkait area-area mana saja yang memerlukan pendanaan perubahan iklim.

Sinyal positif ini juga ditandai dengan beberapa komitmen pendanaan dari negara-negara maju terkait pendanaan perubahan iklim:

  1. Adaptation Fund mendapatkan total kontribusi sebesar USD 129 juta, yang mana kontribusi terbesar berasal dari Jerman (EUR 70 juta), Italia (EUR 7 juta), Perancis (EUR 15 juta), EU Commission (EUR 10 juta).
  2. Green Climate Fund. Jerman dan Norwegia berkomitmen untuk menggandakan kontribusi mereka kepada GCF sebesar EUR 1,5 milyar dan USD 516 juta, pada replenishment GCF yang akan datang.
  3. Pendanaan khusus untuk Least Developed Countries. COP 24 menghasilkan komitmen sebesar USD 28,2 juta, dengan kontribusi terbesar berasal dari Swedia sebesar USD 5,5 juta (50 Kr), dan Perancis sebesar EUR 20 juta.

Klik di bawah untuk melihat beberapa foto dari COP 24.