Main content

Dengarkan audionya:

Oleh Indriani Widiastuti, Henriette Imelda

Energi adalah salah satu hal penting dalam pembangunan. Tidak seperti di kota-kota besar yang layanan energinya cenderung mudah untuk diakses, banyak daerah terpencil di Indonesia, tidak memiliki keistimewaan tersebut. Namun, pasokan energi di daerah terpencil tersebut, sumber energi terbarukan seperti air, angin, biogas dan matahari, seringkali berlimpah, melebihi potensi yang terdapat di kota-kota besar. Sayangnya, hingga hari ini masih banyak orang yang tidak menyadari pentingnya potensi energi terbarukan yang ada di wilayah mereka, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Pada tanggal 6 Maret 2019 lalu, Hivos, WWF-Indonesia dan Koaksi Indonesia dalam kerangka program Strategic Partnership Green and Inclusive Energy dan koalisi Bersihkan Indonesia, mengajak 30 organisasi masyarakat sipil untuk duduk bersama dalam sebuah Civil Society Organization (CSO) Learning Forum. Acara yang bertempat di Penang Bistro, Kebon Sirih-Jakarta ini ditujukan sebagai ajang cross-learning antar organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang energi terbarukan.

Adapun pembahasan utama dari acara CSO Learning Forum ini mengenai perkembangan Rencana Undang-Undang Energi Terbarukan/Energi Baru Terbarukan (RUU ET/EBT), yang saat ini sedang diusung oleh Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI). Tujuan dari pembahasan ini bukan hanya untuk memberikan informasi mengenai RUU ET/EBT kepada setiap CSO yang hadir, namun juga berupaya untuk memberikan ruang bagi CSO untuk memberikan opini dan masukannya, terhadap draf RUU ET/EBT.

Paparan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan

Indonesia adalah negara yang memiliki potensi energi baru terbarukan (EBT) sangat besar, hingga 442 Gigawatt, namun yang sudah terpasang baru mencapai 9,32 Gigawatt atau sekitar 2% saja. Data potensi energi di Indonesia menunjukkan, bahwa untuk panas bumi saja terdapat kurang lebih 300 titik di Indonesia. Tenaga angin di Indonesia paling tidak dapat menghasilkan sekitar 60 Gigawatt dan laut sekitar 17,9 Gigawatt. Potensi energi ini bisa menjadi peluang bagi Indonesia terutama dari sisi ketahanan energi. Terutama karena di dunia internasional, saat ini non-energi terbarukan (batu bara, minyak bumi) sudah mulai ditinggalkan untuk penyediaan listrik. Perlu menjadi catatan juga bahwa cakupan energi yang ada di Indonesia bukan hanya listrik, tapi juga non-listrik, seperti bahan bakar nabati (bio-fuel dan ethanol).

Melihat dari sisi layanan listrik saja, saat ini installed capacity Indonesia baru mencapai 68 Gigawatt dan lebih banyak tersebar di Pulau Jawa. Hal ini disebabkan karena pola distribusi kegiatan sentra ekonomi yang cenderung terpusat di Pulau Jawa. Padahal, dengan tingkat pertumbuhan penduduk sekitar 2,4% per tahun, kebutuhan layanan listrik akan selalu ada, sejalan dengan pertumbuhan penduduk. Berdasarkan hal tersebut, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkirakan bahwa di tahun 2025, Indonesia harus membangun infrastruktur ketenagalistrikan sebesar 135,4 GW, yang terdiri dari 90,4 GW pembangkit berbasis fosil, dan 45 GW pembangkit berbasis energi baru terbarukan. Namun, untuk dapat mewujudkan hal tersebut, berbagai macam kendala dan tantangan berulang kali menjadi penghalang.

Pertumbuhan listrik dalam lima (5) tahun terakhir tidak sesuai dengan pertumbuhan ekonomi. Padahal, secara teori rule of thumbs, pertumbuhan listrik setidaknya harus bertumbuh sekitar dua kali lipat dari pertumbuhan penduduk (dalam bentuk riil). Namun yang terjadi, pertumbuhan listrik Indonesia berada di bawah 5%.

Menyadari potensi energi Indonesia lebih besar daripada kebutuhan energi Indonesia, maka diperlukan adanya perencanaan dan strategi implementasi yang tepat, agar energi bisa dapat terkonversi dengan baik.

Hambatan dan tantangan pengembangan energi terbarukan di Indonesia

Pengembangan energi terbarukan di Indonesia menemui beberapa hambatan dan tantangan, seperti regulasi, teknis, bisnis dan finansial, lingkungan dan sosial, teknologi, dan sumber daya manusia (SDM).

  1. Indonesia saat ini tidak memiliki kepastian hukum yang jelas dalam berusaha. Undang-Undang Energi tidak terlalu jelas, penjabaran UU tidak dimuat di dalam Peraturan Presiden, namun keluar dari tingkat Menteri, yang dapat dikeluarkan kapan saja dan menimbulkan ketidakpastian hukum dan investasi. Ketidakpastian hukum ini memberikan dampak pada investor yakni mereka tidak memiliki jaminan keamanan. Selain itu, para investor akan selalu menginginkan bahwa investasi tersebut dapat kembali dengan profit.
  2. Perihal teknis ini, sebenarnya akan terkait dengan regulasi yang ada.
  3. Bisnis dan finansial. Poin ini juga sangat erat dengan regulasi; salah satunya mengenai kepastian harga. Pengusaha tidak akan mendapatkan kepastian pada harga berapa pengusaha dapat mengembalikan investasinya. Apabila harga kemudian ditetapkan pada kondisi tertentu dan tidak menguntungkan bagi investor, maka tidak akan ada investor yang tertarik.
  4. Lingkungan dan sosial. Poin ini juga sangat memerlukan dukungan regulasi yang tepat.
  5. Teknologi juga dipengaruhi oleh adanya regulasi. Jenis teknologi yang berbeda dapat berdampak pada pengembangan energi yang juga berbeda. Layanan energi dari pembangkit yang berbeda-beda, tidak dapat disamakan harganya, karena tantangan teknologinya pun berbeda-beda.
  6. Sumber Daya Manusia, berupa kesiapan dari sumber daya manusia Indonesia sendiri. Untuk mencapai target Kebijakan Energi Baru Terbarukan sebesar 23% di tahun 2025, diperlukan sebuah roadmap yang harus disiapkan oleh Pemerintah, sehingga apa yang akan dilakukan dan direncanakan akan sesuai dengan dinamika yang ada.

Undang Undang Energi Terbarukan

Pembahasan mengenai Undang Undang Energi Terbarukan sebenarnya sudah dilakukan cukup lama. Hal ini dikarenakan adanya kesadaran bahwa regulasi dalam bentuk Undang Undang untuk Energi Terbarukan mengalami masa vakum, sementara yang lain (migas, ketenaganukliran, ketenagalistrikan, minerba, serta panas bumi) telah terisi. Bukan hanya dalam bentuk regulasi, tapi juga saat implementasi regulasi yang ada terkait dengan energi terbarukan (Undang Undang Energi), menjadi tidak efektif dan efisien untuk mempercepat perkembangan energi terbarukan di Indonesia. Selama mendorong Undang Undang terkait dengan Energi terbarukan, METI memandang ada hal-hal penting yang harus tercakup di dalam UU EBT yang dimaksud. Hal-hal tersebut adalah:

  1. Perlu muatan agar penyediaan energi terbarukan mendapat prioritas oleh Pemerintah untuk memenuhi target pencapaian sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN). Apabila penyediaan energi terbarukan tidak dipandang sebagai prioritas oleh Pemerintah, maka untuk memenuhi kebutuhan energi domestik, Pemerintah akan mengimpor energi at any cost.
  2. Adanya paham yang mengatur Standar Portfolio Energi Terbarukan. Standar portfolio energi terbarukan ini sebaiknya dibuat oleh lembaga independen, yang khusus mengawasi, dan tidak menggantungkan seluruhnya kepada Pemerintah.
  3. Adanya sertifikat energi terbarukan (ET) bagi setiap pengembang ET dan dapat dipergunakan sebagai pengganti yang diberikan kepada pengembang energi fosil yang tidak mengembangkan ET, misalnya 5% dari total kapasitasnya, pengembang tersebut harus membangun pembangkit dari energi terbarukan. Jika pengembang tersebut tidak dapat membangun sendiri, maka sertifikat energi terbarukan dapat digunakan (dibeli). Sertifikat ini seharusnya memiliki nilai yang setara dengan pengembangan ET, seperti dana riset pengembangan energi terbarukan, pengembangan kapasitas, atau pendidikan yang mendorong pengembangan energi terbarukan.
  4. Perlu ada pasal yang mengatur mengenai Harga Energi Terbarukan. Hal ini untuk memberikan kepastian dalam investasi energi terbarukan, serta untuk memastikan pola pengembalian terhadap dana investasi energi terbarukan.
  5. Perlu adanya pasal yang mengatur insentif ET sebagai bentuk dukungan untuk memberikan daya tarik investasi ET.
  6. Perlu adanya pasal tentang Dana ET yang mencakup sumber dan rencana penggunaannya.
  7. Perlu adanya badan khusus pengelola ET sebagai badan yang bertanggung jawab memiliki otoritas yang jelas dalam mengelola, memiliki kewenangan pengelolaan dana ET dan lain-lain.

Selain hal-hal bersifat teknis yang disebutkan di atas, peran masyarakat sipil dalam mendukung, mengawasi dan mengevaluasi RUU EBT menjadi sangat penting, juga untuk memberikan masukan dalam penentuan arah kebijakan dan bekerja sama dalam penyediaan, penelitian, pengembangan dan pemanfaatan EBT.

Tantangan, Masukan dan Tindak Lanjut

Setelah paparan dari Bapak Surya Darma, para peserta learning forum yang hadir saat itu mendiskusikan beberapa tantangan dan masukan untuk RUU EBT dan pengelolaannya, serta tindak lanjut dari pertemuan yang dilakukan pada tanggal 6 Maret 2019. Hal yang menjadi perhatian khusus dari CSO yang hadir antara lain:

  • Pemerataan akses energi adalah salah satu goal dalam SDGs. Jika melihat potensi energi terbarukan begitu besar, tetapi pada kenyataannya di Indonesia hal ini belum dioptimalkan demi tercapainya goal. Itu sebabnya RUU ini harus mempertimbangkan juga dinamika yang terkait dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).
  • Perlu adanya sinkronisasi kerja dan koordinasi antar kementerian, karena masing-masing kementerian berjalan dengan cara yang berbeda, namun dapat berkontribusi pada implementasi UU Energi Baru Terbarukan ini.
  • Perlu adanya integrasi isu gender dalam RUU ini.
  • Soal otonomi daerah, kewenangan pemanfaatan kelistrikan awalnya dikelola oleh pemerintah daerah, kemudian ditarik kembali ke pemerintah pusat. Sementara untuk yang non-listrik atau sifatnya productivius diserahkan ke pemerintah daerah. Hal ini sedikit merepotkan, apalagi jika lokasinya di pulau-pulau kecil. RUU ini harus dapat menjembatani, mengakomodir dan memberikan solusi untuk masalah ini.
  • Di Indonesia belum ada mekanisme yang mengatur grid listrik, dalam RUU ini diarahkan supaya PLN mengatur grid yang mengakomodasi kondisi energi terbarukan.
  • Harapan agar sektor lain yang menyesuaikan dengan kondisi energi terbarukan, seharusnya pembangunan sektor industri diletakkan dengan kawasan sumber, misalnya di dekat laut.
  • Menemukan titik keseimbangan antara pemerintah dan CSO dalam mewujudkan energi terbarukan. Ada beberapa porsi pembiayaan yang tidak bisa dibisniskan dan harus ditanggung oleh pemerintah. CSO dapat masuk mengisi celah pada bidang yang dikuasai.
  • Ketika hendak membangun pembangkit listrik dari sumber terbarukan di suatu daerah, sebaiknya CSO bermitra dengan ekonom untuk menganalisis kegiatan ekonomi apa yang tepat dan menghitung nilai ekonomisnya, sehingga kita bisa menawarkannya juga kepada investor agar tidak menjadi beban APBD/APBN.