Peran Strategis CSO dalam Pengembangan Energi Terbarukan Melalui Green Climate Fund
Dengarkan audionya:
Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement dan berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada tahun 2030 sebesar 29% atas upaya sendiri dan hingga 41% dengan bantuan dan kerjasama internasional. Tentunya pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, peran serta non-state actors juga sangat besar. Non-state actors juga dapat mengakses pendanaan internasional, untuk mencapai target NDC Indonesia, melalui pendanaan Green Climate Fund (GCF).
Untuk lebih menyebarluaskan pengetahuan mengenai pendanaan GCF, Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal (PKPPIM-BKF) bekerja sama dengan Hivos, menyelenggarakan CSO Learning Forum pada tanggal 30 Juli 2019. Acara ini dihadiri oleh sekitar 40 perwakilan CSO di Jakarta, yang bekerja di isu energi terbarukan dan juga gender. CSO yang hadir diharapkan juga bisa memberikan masukan terhadap peran CSO dalam pendanaan GCF. Bukan hanya untuk mengakses pendanaannya, tapi juga mengawal implementasi dari kegiatan-kegiatan GCF di Indonesia.
Acara dibuka oleh Kepala PKPPIM, Adi Budiarso, yang menekankan agar Indonesia dapat mengejar ketinggalan dalam pembangunan energi terbarukan. Peran CSO menjadi penting karena dapat membantu pemerintah dalam mengadvokasikan program GCF dan bekerja sama untuk memastikan kegiatan-kegiatan yang didanai oleh GCF tepat diimplementasi sesuai sasaran dan tujuannya. Lebih lanjut lagi ia menjelaskan, dalam pendanaan GCF, CSO memiliki beberapa peran strategis yaitu sebagai Accredited Entity/AE (lembaga terakreditasi), duta GCF untuk mengadvokasi GCF ke banyak pihak, Implementing Entity/Project Proponent dengan mengembangkan aktivitas atau proyek, dan sebagai strategic partner.
GCF sudah seharusnya menjadi pendanaan yang berbeda dengan pendanaan lainnya. Itu sebabnya, pilihan instrument pendanaan yang ditawarkan oleh GCF menjadi beragam. Misalnya berupa grant, reimbursable grant, enquity, loan ataupun soft loan. Inovasi pendanaan dan business model masih bisa disesuaikan, selama pengaju proposal memberikan argumen yang kuat mengenai inovasi tersebut, serta menyertakan baseline data yang relevan dalam proposal. Diharapkan dengan mekanisme dan skala pendanaan yang beragam, dana GCF dapat menjangkau lebih banyak proyek energi, termasuk untuk pengusaha skala kecil, menengah, serta CSO.
Country ownership juga menjadi fokus GCF dan prinsip yang paling fundamental. GCF ingin agar proyek-proyek yang akan didanai sesuai dengan prioritas pembangunan nasional dan dibutuhkan negara; bukan hanya pemerintah, tetapi juga pemangku kepentingan lain. Di sinilah CSO juga berperan penting untuk memastikan country ownership terakomodasi. CSO juga didorong untuk membangun institutional framework GCF secara bersama. Hal ini dilakukan agar para pemangku kepentingan dari berbagai macam kalangan, dapat berkumpul dan menyepakati beberapa hal yang merefleksikan prinsip country ownership. Country ownership juga tidak seharusnya ditakar melalui co-financing. Walau demikian, beberapa proposal GCF yang lalu seperti memiliki konsep, bahwa proposal yang diajukan tidak dapat diterima jika pengembang proyek tidak dapat menyediakan co-financing dalam jumlah yang besar. Mengenai co-financing ini memang belum diatur lebih jauh oleh GCF.
GCF sebenarnya diharapkan dapat menjadi lembaga pendanaan yang berbeda dengan yang lembaga pendanaan yang lain. Hal ini disebabkan karena GCF diinginkan untuk menjadi lembaga pendanaan yang dapat mendanai program-program yang memiliki risiko tinggi, di mana lembaga lainnya tidak dapat menyalurkan dana-dana untuk kegiatan-kegiatan dengan risiko tinggi.