Potensi Pendanaan Green Climate Fund dalam Pengembangan Energi Terbarukan oleh Sektor Swasta di Indonesia
Dengarkan audionya:
Sebagai tindak lanjut dari Paris Agreement pada tahun 2015, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada tahun 2030 sebesar 29% atas upaya sendiri dan hingga 41% dengan bantuan dan kerjasama internasional. Pada saat yang bersamaan, Green Climate Fund (GCF), pundi pendanaan perubahan iklim yang dibentuk melalui persetujuan negara-negara di UNFCCC (United Nations Framework on Climate Change Convention), akan memulai first replenishment-nya di tahun 2020. Setiap negara berkembang yang dapat mengakses dana GCF, memiliki National Designated Authority (NDA), yang memiliki peran sebagai entitas yang menjadi focal point untuk GCF. Di Indonesia, NDA GCF merupakan bagian dari Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal (PKPPIM-BKF), Kementerian Keuangan.
Pada tanggal 31 Juli 2019, NDA GCF di Indonesia bekerja sama dengan Hivos dan METI, menyelenggarakan Forum Komunikasi GCF dengan sektor swasta di Hotel Akmani, Jakarta Pusat. Acara ini ditujukan untuk memberikan pengertian dan penjelasan kepada pihak swasta, terkait dengan GCF dan bagaimana cara kerjanya. Harapannya, pihak swasta dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk mengakses pendanaan GCF dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
Acara Forum Komunikasi GCF-Private Sector dibuka oleh Kepala PKPPIM, Adi Budiarso, dan diikuti oleh kurang lebih 50 perwakilan sektor swasta. Dalam sambutannya beliau mengajak para pihak untuk bersinergi dalam mencapai target penurunan emisi. NDA GCF di Indonesia juga berencana untuk membantu proses matchmaking sektor-sektor lain di level nasional dan internasional. Beliau juga menambahkan, bahwa pemetaan atas capaian Indonesia dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, perlu dilakukan. Apabila Indonesia hanya fokus pada kekurangan, maka akan sulit untuk melihat apa yang terjadi secara gambaran besar (mulai dari hulu hingga hilir).
Sebagai update, saat ini GCF sedang fokus untuk first replenishment yang akan berlaku selama 4 tahun. Periode replenishment ini diharapkan dapat dilakukan pada tahun 2020, dan diakhiri pada tahun 2023. GCF Board Meeting ke-23 pada bulan Juli 2019 yang lalu, menyetujui 10 funding proposals, dengan total pendanaan yang dimintakan dari GCF sekitar USD 267 juta.
Tantangan Pendanaan bagi Pengembang Energi Terbarukan dari Sektor Swasta
Akses terhadap lembaga pembiayaan, suku bunga pinjaman dan jaminan dari pemerintah merupakan beberapa tantangan yang dihadapi oleh sektor swasta dalam pengembangan energi terbarukan. Surya Dharma, Ketua Umum METI (Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia) menyampaikan, bahwa untuk proyek energi kurang dari 10 Megawatt seringkali sulit mendapatkan pinjaman dari bank komersil, sedangkan untuk proyek lebih dari 10 Megawatt sebagian besar menggunakan pembiayaan dari luar negeri (project financing). Besaran bunga pinjaman juga tergantung dengan back up sponsor, sehingga untuk proyek dengan IRR rendah sulit mencapai nilai ekonomis proyek.
Hal lain yang menjadi perhatian sektor swasta terkait dengan akses pendanaan adalah mengenai masa financial closure proyek kelistrikan PLN yakni 6 bulan. Kekhawatiran ini muncul karena adanya pertanyaan mengenai waktu yang diperlukan untuk GCF untuk menyetujui satu proposal. Apabila jangka waktu persetujuan melebihi 6 bulan, maka sudah pasti tenggat waktu financial closure dari swasta untuk kelistrikan, tidak dapat dipenuhi.
Terlepas dari masih banyaknya tantangan pengembangan energi terbarukan di Indonesia, pertemuan ini menunjukkan bahwa banyak pihak swasta yang tertarik untuk mengajukan proposal ke GCF, guna pengembangan energi terbarukan di Indonesia.