Main content

Oleh Lina Noviandari, Knowledge Management Consultant Strategic Partnership Green and Inclusive Energy

Pada 23 dan 24 November 2019, Mongabay kembali menyelenggarakan workshop untuk memberikan informasi terkait pengembangan dan isu-isu energi terbarukan kepada para jurnalis. Workshop kali ini diselenggarakan di Kupang dan berfokus pada isu ET di Nusa Tenggara Timur. Sejumlah jurnalis dari berbagai media arus utama dan daring hadir dalam acara ini.

Workshop Isu Energi Terbarukan merupakan bagian dari rangkaian program Media Fellowship yang dijalankan oleh Mongabay dengan dukungan dari Hivos melalui kerangka Strategic Partnership for Green and Inclusive Energy (SP-Energy). Setelah mengikuti workshop, jurnalis yang terpilih bisa mengikuti program fellowship yang memungkinkan mereka untuk meliput isu energi terbarukan dengan pembinaan dari Mongabay dan dukungan dana dari program. Kegiatan ini diharapkan bisa meningkatkan peliputan media terkait isu energi terbarukan yang secara langsung bisa menambah pengetahuan dan pemahaman masyarakat terkait ET.

Para narasumber yang hadir untuk mengisi workshop kali ini di antaranya adalah Paulus L. Kedang selaku Kepala Bidang EBT ESDM NTT yang memaparkan strategi pemenuhan dan perkembangan ET di NTT, Alfons Theodorus selaku Kepala Beppelitbangda NTT yang menyampaikan kebijakan sektor energi di NTT, Yohan Tokael selaku Manajer Humas PLN NTT - Kupang yang berbagi tentang pengembangan kelistrikan di NTT, Pantoro Tri “Torry” Kuswardhono selaku Direktur Eksekutif Perkumpulan PIKUL menjelaskan tentang kendala serta perilaku masyarakat terkait pengembangan ET di NTT, Michael Riwu Kaho selaku Dosen prodi kehutanan program pascasarjana Undana dan Ketua Forum Daerah Aliran Sungai (Fordas) NTT yang menjelaskan kaitan Jasa Lingkungan Hidup dengan pengembangan ET, Gus Firman selaku Monitoring, Evaluation and Learning Officer Sumba Iconic Island (SII) - Hivos yang membahas tentang program SII, Rita Kefi selaku Gender Specialist Hivos yang berbagi tentang Desa Model Energi Terbarukan Berbasis Gender di Desa Luku Wingir, Sumba; Widjanarka ES selaku Anggota Dewan Pembina Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang mengupas ET dari kacamata konsumen, serta Sutriyatmi Atmadiredja selaku Deputi Sekjen Koalisi Indonesia (KPI) yang membahas kaitan perempuan dan ET.

previous arrow
use11
use11
use21
use21
next arrow

Pengembangan energi terbarukan di Nusa Tenggara Timur

Jika dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia, rasio elektrifikasi NTT terbilang yang paling rendah (Laporan Kinerja Kementerian ESDM 2019). Menurut Paulus, faktor geografis menjadi salah satu kendala terbesar pemenuhan rasio elektrifikasi ini. Dengan kondisi geografis kepulauan (ribuan pulau besar dan kecil), jaringan listrik pusat sulit masuk ke daerah-daerah pelosok di NTT. Selain kondisi geografis yang sulit dijangkau, kurangnya infrastruktur yang memadai juga mempengaruhi rendahnya rasio elektrifikasi ini.

Meski kurang dari segi rasio elektrifikasi, NTT sangat kaya dari segi potensi sumber energi terbarukan. Menurut Paulus, provinsi ini bisa dibilang punya segalanya, mulai dari surya, angin, laut, panas bumi, hingga biogas dari kotoran ternak. Sayangnya, potensi besar yang hingga mencapai 23.812,5 MW ini belum dimaksimalkan dengan baik, yakni baru sebesar 0,12 persen.

Oleh karena itu, Paulus mengungkapkan bahwa pemerintah provinsi NTT sangat mendukung adanya program pengembangan energi terbarukan guna meningkatkan rasio elektrifikasi di daerah ini. Terlebih, program pengembangan energi terbarukan bukan lah hal yang baru di NTT. Menurut Paulus, pemerintah provinsi NTT sudah bisa melihat sendiri dampak positif program yang sudah ada seperti Sumba Iconic Island (SII), program multisektor yang diinisiasi oleh Hivos dan didukung oleh pemerintah. Berkat SII, rasio elektrifikasi di Sumba yang tadinya hanya 24,5 persen pada tahun 2010 meningkat menjadi 50,9 persen di tahun 2018. Selain SII, program energi terbarukan lain yang juga masuk kebijakan nasional terkait pengembangan energi terbarukan di NTT adalah Flores Geothermal Island yang diinisiasi oleh pemerintah.

Melihat besarnya antusiasme pemerintah provinsi dan sudah adanya program-program pengembangan ET, pemanfaatan sumber ET yang baru mencapai 0,12 persen bisa dibilang sangatlah kecil. Terkait hal ini, Paulus menjelaskan bahwa pengembangan ET di NTT memang punya tantangan yang besar. Selain minim dan mahalnya akses dan infrastruktur di kawasan kepulauan ini, isu keberlanjutan dan kapasitas masyarakat yang masih rendah juga menjadi kendala signifikan.

Kendala isu keberlanjutan dan masih rendahnya kapasitas masyarakat juga disampaikan oleh para narasumber lain. Gus Firman, misalnya, menjelaskan bahwa salah satu alasan tidak lagi beroperasinya fasilitas ET adalah karena kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat dalam hal pemakaian dan pemeliharaan fasilitas. Menurut Widjanarka ES, menyiapkan masyarakat untuk beralih ke ET memang jauh lebih sulit, atau bahkan hal yang paling sulit, dibanding instalasinya. Oleh karena itu, selain penyediaan infrastruktur, edukasi dan peningkatan kapasitas masyarakat menjadi prasyarat pengembangan ET. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Torry, “Pemanfaatan ET memerlukan enabling environment yang lengkap. Dan itu harus dipersiapkan dan diperhatikan. Jika tidak, maka pemanfaatan ET tidak akan maksimal, atau bahkan gagal.”