Main content

Dengarkan audionya:

Oleh Lina Noviandari, Knowledge Management Consultant Strategic Partnership Green and Inclusive Energy

Akses energi seperti listrik dan bahan bakar bersih untuk memasak merupakan sebuah kebutuhan dasar masyarakat modern. Energi listrik sangat diperlukan untuk berbagai fungsi pokok, misalnya penerangan, penyediaan air bersih, pendidikan, hingga fasilitas kesehatan. Dari segi ekonomi, selain digunakan untuk mengoperasikan peralatan usaha dan industri, listrik juga mampu meningkatkan produktivitas kerja dengan adanya penerangan dan akses komunikasi seperti telepon dan internet. Ketersediaan akses energi modern ini juga memberikan peluang kerja yang lebih banyak, terutama bagi perempuan, karena adanya pilihan untuk melakukan hal-hal produktif di luar rumah. Pentingnya peran akses energi menjadikannya sebagai sebuah prasyarat pembangunan yang wajib terpenuhi.

Sayangnya, ketersediaan akses energi modern ini belum sepenuhnya tercapai di Indonesia. Sebagai sebuah negara kepulauan, Indonesia menghadapi kendala geografis dalam mendistribusikan energi, terutama untuk masyarakat di daerah pelosok. Saat ini, ada lebih dari 12 juta penduduk Indonesia yang belum mendapatkan akses pada listrik. Itu artinya, masih ada banyak penduduk di negara ini yang kesulitan atau bahkan belum bisa memenuhi kebutuhan dasarnya. Karena akses energi merupakan prasyarat pembangunan, ketimpangan ini bisa dibilang sebagai sebuah bentuk ketidakadilan. Daerah dan masyarakat yang mendapatkan akses energi akan terus maju dan berkembang; sementara mereka yang tidak, akan terus tertinggal.

Untuk mengatasi ketidakadilan ini, menyediakan akses energi ke seluruh penduduk Indonesia bahkan hingga ke pelosok merupakan hal mutlak yang harus dilakukan pemerintah. Namun, pemerintah juga harus memastikan bahwa tidak hanya tersedia, akses energi juga harus terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat dan ramah lingkungan. World Energy Council menyebut tiga hal penting ini sebagai Trilema Energi yakni tiga tantangan energi global yang paling mendesak.

Pengrajin gula semut di Kulon Progo, menggunakan tungku tradisional berbahan bakar biomassa

Hingga kini, pemerintah Indonesia memang masih terus berupaya untuk menyediakan akses energi yang terjangkau oleh masyarakat. Sayangnya, elemen ramah lingkungan belum begitu mendapat banyak perhatian. Misalnya, untuk menyediakan akses bahan bakar yang terjangkau, pemerintah memberikan subsidi pada energi fosil seperti LPG dan BBM. Di satu sisi subsidi energi menjamin akses energi yang terjangkau, namun di lain pihak menciptakan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, potensi pemborosan dalam penggunaan energi, serta distorsi pasar bahan bakar. Seperti yang umum diketahui, penggunaan energi fosil untuk aktivitas manusia memiliki dampak buruk bagi lingkungan. Oleh sebab itu, ketergantungan pada energi fosil ini harus terus dikurangi.

Jika ingin mengatasi Trilema Energi, maka menyediakan energi terjangkau saja tidak cukup, pemerintah juga harus melakukan transisi menuju sistem energi terbarukan dan rendah karbon yang terarah, konsisten, inklusif, dan memiliki target serta indikator yang jelas. Salah satu caranya  adalah dengan memprioritaskan penggunaan energi terbarukan yang terdesentralisasi dengan memanfaatkan sumber dan teknologi energi terbarukan setempat. Selain bisa menjangkau lebih banyak daerah tertinggal, pemanfaatan energi terbarukan yang sesuai dengan potensi daerah setempat seperti air, sinar matahari, angin, dan biomassa, serta gelombang laut merupakan pilihan yang ekonomis untuk jangka panjang; dibandingkan dengan melakukan perluasan jaringan PLN.

Selain penyediaan sarana dan pemanfaatan sumber daya alam, pemerintah juga harus memprioritaskan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Misalnya, melibatkan masyarakat setempat untuk mengelola pembangkit atau infrastruktur energi yang dibangun. Pemerintah bisa memberikan edukasi, sosialisasi, dan pendampingan pada masyarakat untuk mendorong tanggung jawab bersama. Dengan demikian, masyarakat setempat tidak hanya mendapatkan energi tetapi juga mempunyai rasa memiliki pada infrastruktur energi yang tersedia. Dalam merangkul partisipasi masyarakat ini, peran serta kaum perempuan juga perlu diperhatikan untuk mewujudkan tercapainya keadilan dan kesetaraan gender dalam program penyediaan akses energi.