Main content

Dengarkan audionya:

Oleh Lina Noviandari, Knowledge Management Consultant Strategic Partnership Green and Inclusive Energy

Pada 27 Januari 2020, Mongabay kembali menyelenggarakan Journalist Learning Forum atau Forum Belajar Jurnalis untuk Energi Terbarukan di Jakarta untuk memberikan pendalaman dan pemahaman materi terkait RUU Energi Terbarukan kepada para jurnalis. Forum ini merupakan bagian dari rangkaian program Media Fellowship yang dijalankan oleh Mongabay dengan dukungan dari Hivos melalui kerangka Strategic Partnership for Green and Inclusive Energy (SP-Energy).

Jika pada diskusi yang pertama para jurnalis diajak mengupas naskah akademik yang menjadi landasan RUU EBT, pada forum kedua ini mereka berkesempatan mendalami RUU EBT dari sisi kebijakan dan pengelolaan. Surya Dharma selaku Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) hadir menjadi narasumber.

Surya Dharma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), berbagi tentang RUU EBT

Surya membuka sesi sharing ini dengan memaparkan urgensi disusunnya RUU EBT terutama dari segi kebijakan. Menurut Surya, salah satu alasan terbesar lambatnya pertumbuhan pengembangan energi terbarukan di Indonesia adalah karena tidak adanya kepastian hukum yang berakibat pada kurangnya minat investor. Untuk mengisi kekosongan ini, gagasan RUU EBT pun dimunculkan.

Meski mulai diusulkan DPD RI sejak 2017, progres RUU EBT terbilang lambat. Hingga saat ini, RUU EBT masih dalam tahap penyusunan oleh Komisi VII DPR RI. Kabar baiknya, RUU EBT masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun ini. Sehingga, kemungkinan besar proses penyusunan ini akan dipercepat.

Urgensi Adanya Badan Pengelola Independen

Masuknya RUU EBT dalam Prolegnas prioritas ini disambut baik oleh para pemangku kepentingan, termasuk juga METI yang selama prosesnya berperan sebagai pemberi masukan terkait RUU EBT kepada pemerintah. Meski demikian, Surya menilai masih ada beberapa hal yang perlu dibenahi sebelum nantinya RUU EBT siap diajukan.

Sebagai pemberi masukan, METI mengajukan tujuh poin penting yang harus tercakup di dalam RUU EBT. Poin-poin tersebut adalah:

  1. Adanya muatan agar penyediaan energi terbarukan mendapat prioritas oleh Pemerintah untuk memenuhi target pencapaian sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN).
  2. Adanya paham yang mengatur Standar Portfolio ET (SPET), agar pengembangan ET mendapatkan kepastian dalam ‘level of playing field’ yang sama.
  3. Adanya sertifikat ET bagi setiap pengembang ET. Sertifikat ini dapat digunakan sebagai pengganti yang diberikan kepada pengembang energi fosil yang tidak mengembangkan ET sebagaimana amanat SPET.
  4. Adanya pasal yang mengatur mengenai harga ET agar ada kepastian dalam investasi ET, serta memastikan pola pengembalian terhadap dana investasi ET.
  5. Adanya pasal yang mengatur insentif ET sebagai bentuk dukungan untuk meningkatkan daya tarik investasi ET.
  6. Adanya pasal tentang Dana ET yang mencakup sumber dan rencana penggunaannya.
  7. Adanya badan khusus pengelola ET (BPET) sebagai badan independen yang bertanggung jawab memiliki otoritas yang jelas dalam mengelola, memiliki kewenangan pengelolaan dana ET dan wewenang terkait lainnya.

Menurut Surya, hampir semua poin yang diusulkan oleh METI tersebut sudah masuk dalam bahasan RUU EBT terbaru. Namun, dibentuknya Badan Pengelolaan Energi Terbarukan (BPET) masih belum dimasukkan. Padahal, menurut Surya, peran BPET sangat lah penting untuk membantu pemerintah dalam mempercepat implementasi pengembangan ET di Indonesia.

Badan independen ini nantinya bisa ditugaskan untuk menyusun strategi implementasi pengembangan energi terbarukan, misalnya dalam mempromosikan investasi ET, mengelola dana dan alokasi pemanfaatan dana ET, serta mengatur pembiayaan pembangunan infrastruktur ET.

BPET juga bisa berperan sebagai pihak yang berkoordinasi dengan kementerian-kementerian dan lembaga-lembaga terkait. Selama ini, pengembangan energi terbarukan seolah masih menjadi isu sektoral. Kementerian dan lembaga terkait masih bekerja sendiri-sendiri yang berdampak pada terjadinya tumpang tindih kebijakan. Koordinasi ini tentunya memungkinkan adanya integrasi antar kementerian dan lembaga terkait yang mendukung lancarnya implementasi pengembangan energi terbarukan.

Jika pengelolaan diserahkan kepada BPET, lalu bagaimana dengan peran pemerintah? Surya menjelaskan, pemerintah sebaiknya lebih banyak berperan dalam tataran regulasi. Menurut Surya, pembagian peran seperti ini penting, terutama pada saat terjadinya konflik. “Pemerintah bisa menjadi wasit,” jelasnya. Lain halnya jika pemerintah juga menjadi pengelola. Selain riskan dipolitisasi, peran penengah jika konflik terjadi dikhawatirkan tidak terisi.

previous arrow
5
5
7
7
next arrow