Main content

Dengarkan audionya:

Oleh Lina Noviandari, Knowledge Management Consultant Strategic Partnership Green and Inclusive Energy

Pada Conference of Parties (COP) UNFCCC ke-21 tahun 2015, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional di tahun 2030, yang dinyatakan dalam Paris Agreement.

Guna mengetahui sejauh mana upaya Indonesia menjalankan komitmen tersebut, Koaksi Indonesia menyelenggarakan diskusi publik #RuangAksi 19 pada Kamis 30 Januari 2020. Diskusi ini mengundang Ruandha Agung Sugardiman, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK dan Henriette Imelda, Regional Advocacy Officer Hivos SEA selaku perwakilan Indonesia di COP ke-25 yang diselenggarakan di Madrid pada Desember 2019. Diskusi ini juga mengundang perwakilan pemuda Elok Faiqotul Mutia, Direktur Eksekutif Enter Nusantara dan Kevin Alexander, Periset Koaksi Indonesia untuk membahas persepsi dan peran anak muda dalam mendukung upaya mitigasi perubahan iklim ini.

Upaya pemerintah dalam penurunan emisi

Berbicara tentang komitmen pemerintah, Ruandha menyampaikan bahwa Indonesia mengupayakan penurunan emisi hingga 29 persen melalui lima sektor yakni kehutanan, energi, industri, pertanian, dan limbah. Sektor kehutanan dan energi ditargetkan menjadi kontributor utama untuk penurunan emisi ini yakni masing-masing sebesar 17,2 persen dan 11 persen.

Kinerja pemerintah bisa dibilang tidak begitu buruk. Ruandha menjelaskan bahwa Indonesia sudah berhasil menurunkan emisi hingga 24 persen di tahun 2017. “Namun karena ada karhutla (kebakaran hutan dan lahan), emisi kita naik lagi. Saat ini kita baru mencapai antara 19 atau 20 persen.” Sehingga, menurut Ruandha, mencegah kebakaran hutan harus diprioritaskan. Selain itu, upaya di sektor utama lainnya yakni energi harus ditingkatkan yakni seperti mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil dan mendorong transisi menuju energi terbarukan.

Menurut Imelda, pencapaian penurunan emisi ini akan bisa lebih ambisius jika ada bantuan pendanaan. Pasalnya, Imelda menyampaikan, pendanaan merupakan salah satu dari tiga hal yang harus ada dalam upaya penurunan emisi, selain peningkatan kapasitas dan teknologi.

Dalam Paris Agreement, mekanisme pendanaan ini diatur dalam long-term finance (LTF) yang mana negara maju harus memobilisasi USD 100 miliar pada 2020 untuk membantu negara berkembang dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Sayangnya, dalam COP ke-25, LTF menjadi isu outstanding karena negara maju seolah lepas tangan dan tidak mau melanjutkan LTF setelah 2020. Padahal, negara berkembang sudah menunjukkan komitmennya dan berharap LTF tetap berlanjut.

“Mekanisme [pendanaan] ini harus diperjuangkan kesepakatannya supaya angka komitmen bisa lebih agresif dan lebih cepat dicapai,” terang Imelda.

Merangkul anak muda untuk mendukung upaya mitigasi iklim

Penurunan emisi dan upaya mitigasi iklim lainnya bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Peran masyarakat, terutama pemuda sangat penting dan dibutuhkan dalam mendorong percepatan upaya tersebut.

Menurut Mutia, yang hadir dalam UN Youth Climate Summit pada September 2019 di New York, generasi muda sebenarnya sudah sadar terhadap isu perubahan iklim dan ingin dilibatkan. Namun, Mutia mengakui bahwa banyak yang masih belum paham dan kritis menggunakan peran yang bisa mereka lakukan. “Yang kita perlukan adalah meningkatkan literasi perubahan iklim di anak-anak muda dan memobilisasi diri untuk speak-up,” terang Mutia.

Senada dengan Mutia, Kevin menambahkan bahwa pemerintah bisa memasukkan isu-isu yang relevan untuk anak muda seperti green job dan green transportation melalui kampanye kreatif maupun diseminasi informasi. Menurut Kevin, anak muda bisa terjun sebagai penggerak di sektor pekerjaan ramah lingkungan yang mana akan menjadi tren di masa depan.