Main content

Dengarkan audionya:

Oleh Lina Noviandari, Knowledge Management Consultant Strategic Partnership Green and Inclusive Energy

“Perempuan adalah pihak yang paling terdampak dari berbagai bencana alam yang terjadi akibat perubahan iklim,” terang Febrio Nathan Kacaribu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kemenkeu RI membuka acara “Diskusi Publik Penganggaran Perubahan Iklim yang Responsif Gender” yang diselenggarakan secara daring pada 20 Mei 2020 lalu.

Lebih lanjut, Febrio menjelaskan bahwa bencana alam akibat perubahan iklim berdampak pada menurunnya angka harapan hidup perempuan, meningkatnya angka kemiskinan di kalangan perempuan serta gender gap dalam masyarakat akibat beban ganda yang ditanggung perempuan.

Padahal, meski menjadi pihak yang paling terdampak, menurut Agustina Erni, Deputi Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), perempuan berpotensi menjadi aktor penting dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Oleh karena itu, strategi pembangunan yang responsif gender sangatlah penting untuk menjamin kelompok perempuan mempunyai akses, partisipasi, kendali dan manfaat pembangunan yang setara dengan kelompok laki-laki.

Untuk menjawab kebutuhan tersebut, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk melaksanakan strategi pengarusutamaan gender (PUG) dalam upaya penanggulangan perubahan iklim di dalam RPJMN 2015-2019 yang dilaksanakan melalui Perencanaan Penganggaran Responsif Gender (PPRG). Guna mengidentifikasi tantangan dan peluang dalam penyusunan anggaran perubahan iklim yang responsif gender ini, Kemenkeu bekerjasama dengan KPPPA serta dukungan UNDP Indonesia telah melakukan kajian penganggaran perubahan iklim yang responsif gender.

Diskusi publik kali ini bertujuan untuk meluncurkan serta membahas hasil kajian yang dimaksud.

Paparan hasil kajian pembiayaan perubahan iklim yang responsif gender

Kajian Pembiayaan Perubahan Iklim yang Responsif Gender ditujukan untuk mendapatkan gambaran regulasi terkait perencanaan dan penganggaran perubahan iklim yang responsif gender serta kondisi terkini dalam penyusunannya. Kajian yang dilaksanakan sejak tahun 2015 ini menggunakan data anggaran perubahan iklim yang responsif gender pada tahun 2016-2018 di lima Kementerian/Lembaga (K/L) antara lain Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia (KESDM), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KPUPR), Kementerian Pertanian (Kementan).

Adi Budiarso selaku Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM) – BKF menyampaikan paparan laporan kajian dalam diskusi publik kali ini. Menurut Adi, berdasarkan hasil kajian, dapat disimpulkan bahwa sistem perencanaan penganggaran Indonesia cukup memadai untuk mengimplementasikan tema gabungan anggaran perubahan iklim yang responsif gender. Adi menjelaskan, Indonesia sudah memiliki regulasi tentang sinkronisasi perencanaan penganggaran yang didukung oleh aplikasi KRISNA. Selain itu, pemerintah juga telah mengupayakan mekanisme dan institusi yang memfasilitasi proses penandaan anggaran perubahan iklim maupun anggaran responsif gender, serta reward system berupa penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya (APE) yang memotivasi K/L menerapkan strategi PUG mereka.

Meskipun demikian, progres yang ada harusnya bisa lebih dipercepat. Dari sisi implementasi misalnya, jumlah kegiatan dan output anggaran perubahan iklim yang responsif gender yang disusun oleh lima K/L terbilang masih rendah. Padahal, besaran pagu anggaran perubahan iklim hampir di setiap K/L mengalami peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Menurut Adi, tidak imbangnya besaran pagu dan jumlah output ini menandakan masih besarnya ruang bagi K/L untuk meningkatkan kegiatan dan output mereka.

Untuk meningkatkan output ini, K/L Penggerak yakni Kemenkeu, KPPPA, KLHK, dan Bappenas perlu meningkatkan kepatuhan K/L untuk melakukan penandaan anggaran perubahan iklim yang responsif gender. Selain itu, mereka juga perlu meningkatkan enabling environment penandaan anggaran tema gabungan tersebut. Beberapa upaya yang perlu dilakukan di antaranya adalah membuat pedoman penyusunan integrasi gender dalam anggaran perubahan iklim atau Gender Climate Budget Statement (GCBS), menyediakan bimbingan teknis terkait PPRG, melakukan pendampingan dalam mengidentifikasi anggaran perubahan iklim yang responsif gender, dan melakukan monitoring dan evaluasi atas kualitas output dan pelaksanaannya.

Dengan komitmen dari K/L Penggerak dan K/L terkait, menurut Adi, berharap kegiatan dan output anggaran perubahan iklim yang responsif gender bisa meningkat secara signifikan di tahun-tahun mendatang.