Kegiatan Perubahan Iklim yang Responsif Gender dari Berbagai Perspektif
Dengarkan audionya:
Oleh Lina Noviandari, Knowledge Management Consultant Strategic Partnership Green and Inclusive Energy
Pada 20 Mei 2020 lalu, Kemenkeu bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan UNDP menyelenggarakan acara “Diskusi Publik Penganggaran Perubahan Iklim yang Responsif Gender”. Selain meluncurkan dan membahas hasil kajian pembiayaan perubahan iklim yang responsif gender, acara tersebut juga dimaksudkan untuk mendengarkan perspektif dari berbagai lembaga dan organisasi terkait implementasi kegiatan perubahan iklim yang responsif gender. Beberapa lembaga dan organisasi yang diundang untuk berbicara di acara ini di antaranya adalah KLHK, The Climate Reality Project Indonesia, UNDP, PATTIRO dan Hivos.
Berbicara tentang komitmen Indonesia terkait perubahan iklim yang responsif gender, Amanda Katili Niode selaku Manager The Climate Reality Project Indonesia, menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia terbilang cukup terdepan dalam keterlibatannya di kegiatan-kegiatan UNFCCC. Selain sudah adanya regulasi dan Kementerian/Lembaga (K/L) khusus yang menangani ini, sinergi antar berbagai K/L juga terjadi untuk mendukung komitmen pemerintah. Kemenkeu, misalnya, telah bekerjasama dengan beberapa K/L terkait lainnya untuk menyusun strategi nasional perubahan iklim.
Komitmen pemerintah terkait perubahan iklim yang responsif gender juga ditunjukkan dari target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia untuk mengurangi emisi karbon. Menurut Emma Rachmawaty selaku Direktur Mitigasi Perubahan Iklim KLHK, salah satu pendekatan strategis NDC Indonesia adalah adanya integrasi aspek kesetaraan gender. Hal ini dikarenakan, keterlibatan perempuan sangatlah penting hampir di semua sektor yang menjadi fokus upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia.
Emma menjelaskan bahwa meski menjadi pihak paling terdampak, perempuan merupakan aktor yang berpengaruh terutama dalam hal keputusan terkait pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga. Berbagai upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dalam tingkat rumah tangga yang dipengaruhi keputusan perempuan diantaranya seperti penghematan energi, diversifikasi pangan, penerapan 3R (reduce, reuse, recycle), konservasi lingkungan hingga pencegahan kebakaran hutan. Melihat pentingnya peran perempuan, Emma melanjutkan, NDC tidak akan tercapai jika aspek kesetaraan gender tidak diintegrasikan.
Sejalan dengan Emma, Yenni Widjaja selaku Gender Specialist UNDP, menjelaskan bahwa dalam kebijakan pembuatan perencanaan dan penganggaran perubahan iklim perlu mempertimbangkan aspek kesetaraan gender. Selain dari sisi kebijakan, upaya seperti transfer informasi, pemberian akses dan peningkatan kapasitas perempuan, khususnya di tingkat komunitas, juga perlu ditingkatkan.
Upaya meningkatkan partisipasi perempuan di tingkat komunitas atau desa ini, menurut Maya Rostanty selaku Direktur PATTIRO, bisa dilakukan dengan identifikasi champion atau aktor perubahan yang bisa merangkul dan memobilisasi masyarakat sekitar. Dalam hal ini peningkatan kapasitas champion dalam menerjemahkan konsep kesetaraan gender ke aksi konkret di lapangan sangatlah krusial.
Cerita program perubahan iklim yang responsif gender
Pada kesempatan yang sama, Henriette Imelda selaku Regional Advocacy Officer Green and Inclusive Energy Hivos SEA, menceritakan tentang inisiatif desa model integrasi gender dan energi terbarukan yang Hivos jalankan di Sumba Timur. Inisiatif desa model ditujukan untuk memastikan keseimbangan peran perempuan dan laki-laki dalam penggunaan energi terbarukan, sembari meningkatkan kualitas hidup masyarakat di Luku Wingir.
Menurut Imelda, inisiatif ini melibatkan multi-stakeholder mulai dari kementerian terkait seperti KPPPA, Pemerintah Kabupaten hingga Pemerintah Desa, serta aktor terkait lainnya seperti NGO dan akademisi. Hingga kini, inisiatif desa model berhasil melahirkan kebijakan terkait energi terbarukan yang responsif gender baik di level kabupaten (SK bupati) maupun di level desa (perdes) yang mana sangat penting untuk keberlanjutan program.
Selain pencapaian, Imelda juga menjelaskan tantangan implementasi program di antaranya persepsi tentang kesetaraan gender yang dianggap bertentangan dengan adat lokal, fasilitas setempat yang tidak memadai, serta masih kurangnya kapasitas lokal. Komitmen multi-pihak yang terlibat sejak awal, pengidentifikasian masalah, peningkatan kapasitas masyarakat lokal serta kemampuan membahasakan isu kesetaraan gender di lapangan sangatlah penting untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut.
Informasi singkat tentang Desa Model Integrasi Gender dan Energi Terbarukan di Luku Wingir, Sumba Timur bisa diunduh di sini.