Peran Non State Actors Energi Terbarukan dalam Pencapaian NDC
Dengarkan audionya:
Energi Terbarukan (ET) atau renewable energy memiliki peran yang sangat menentukan dalam pencapaian target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam NDC Indonesia di tahun 2030. Untuk mencapainya, peran pelaku usaha selain pemerintah, yang merupakan bagian dari Non-Party Stakeholders (NPS) atau Non-State Actors (NSA) menjadi sangat penting.
Mengenali pentingnya peran NSA mendorong Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) bersama Hivos untuk menyelenggarakan Diskusi Kelompok Terfokus mengenai “Mendorong Investasi Pelaku Usaha Sektor Energi Terbarukan dalam rangka Pemenuhan Target NDC Indonesia” pada tanggal 20 Mei 2020.
Surya Darma selaku Ketua Umum METI dalam pembukaannya menyatakan bahwa diskusi ini diharapkan dapat memberikan gambaran peran NSA terutama dalam investasi untuk mendukung pengembangan ET di Indonesia. Diskusi ini terdiri dari 2 sesi, dimana Pemerintah memberikan paparan di sesi pertama, sedangkan pelaku usaha di sesi kedua.
Dimoderatori oleh Paul Butarbutar dari METI, sesi pertama diawali dengan paparan oleh Harris Yahya, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Ia menyebutkan bahwa kontribusi sektor energi pada penurunan emisi berdasarkan NDC Indonesia adalah sebesar 38%. Sebesar 54% dari besaran tersebut, berasal dari energi terbarukan. Capaian penurunan emisi gas rumah kaca di sektor energi pada tahun 2018 yang terbesar berasal dari energi terbarukan, yaitu sebesar 47% atau 54,8 juta ton CO2e. Pada tahun tersebut, pembangkit EBT yang dikembangkan didominasi oleh air, panas bumi, dan biomassa. Namun, di tahun 2019, PLTS berkembang pesat.
Hingga kini Pemerintah terus berupaya untuk mendorong investasi EBT melalui perbaikan tata kelola, pengadaan PLT EBT skala masif, penyediaan insentif serta kemudahan investasi. Selain itu, pengembangan infrastruktur jaringan, penetapan kuota EBT oleh Pemerintah, serta revisi peraturan/perundang-undangan juga dilakukan. Fasilitas insentif fiscal di bidang EBT yang disediakan oleh Pemerintah mencakup tax allowance, fasilitas bea masuk dan tax holiday. Saat ini Pemerintah sedang menyusun rancangan Perpres tentang pembelian tenaga listrik berbasis EBT.
J. Rizal Primana, Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bidang Pembangunan Sektor Unggulan dan Infrastruktur, menyatakan bahwa pembiayaan pembangunan energi terbarukan, dapat dilakukan dengan blended finance dan kerjasama pemerintah dengan badan usaha (KPBU). Melalui KPBU, fiskal negara menjadi lebih stabil, infrastruktur yang dibangun berkualitas, risiko tidak hanya ditanggung oleh Pemerintah namun juga oleh badan usaha, proyek dapat selesai tepat waktu, dan memiliki potensi investasi yang menarik bagi pihak swasta.
Pelaksanaan blended finance di Indonesia menghadapi tantangan, terutama pada birokrasi atau regulasi yang ada Indonesia, serta masalah kelembagaan. Indonesia memerlukan lembaga khusus yang dapat menjadi channeling entity untuk menerima pendanaan-pendanaan dari luar.
Noor Syaifudin, Ketua Kelompok Analis Kebijakan Fiskal Perubahan Iklim, Kementerian Keuangan memberikan paparan terkait dengan kebijakan fiscal di Indonesia yang diperlukan. Iamenyatakan bahwa untuk mencapai target NDC pada tahun 2030, Indonesia perlu membiayai berbagai aksi mitigasi perubahan iklim dengan total kebutuhan senilai USD 247 miliar (USD19 miliar per tahun). Sektor energi setidaknya membutuhkan pendanaan sekitar USD 236,2 juta atau 3,4 triliun Rupiah (dengan asumsi kurs Rp 14.000/USD) untuk mengurangi emisi sebesar 314 Mton CO2e pada tahun 2030.
Dukungan pendanaan untuk EBT melalui APBN dilakukan melalui insentif perpajakan, belanja pemerintah pusat dan dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) untuk perubahan iklim, serta pembiayaan inovatif. Sementara dukungan pendanaan di luar APBN berasal dari Green Climate Fund (GCF), SDG Indonesia One dan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).
Pembiayaan inovatif yang dapat dimanfaatkan untuk ET adalah Green Sukuk. Green Sukuk merupakan instrumen untuk membiayai program pemerintah terkait aksi perubahan iklim, termasuk mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Alokasi pendanaan green sukuk untuk sektor EBT pada tahun 2019 mencapai USD 43,9 juta. Selain itu, bentuk pembiayaan inovatif lain yang dapat dimanfaatkan adalah PDF (Project Development Fund), CEF (Credit Enhancement Facility) dan VGF (Viability Gap Fund). Pemerintah juga memiliki Pembiayaan Infrastruktur Sektor Panas Bumi (PISP). Adapun tujuannya untuk membiayai eksplorasi dan operasi proyek panas bumi, di mana pengelola dananya adalah PT SMI.
Pada bagian diskusi, terlihat bahwa untuk mendorong pengembangan energi terbarukan di Indonesia, perlu tersedia pendanaan yang cukup karena banyak pemilik proyek yang bahkan tidak memiliki pendanaan yang cukup untuk membuat project preparation yang layak. Kelembagaan yang mumpuni untuk menjadi channeling pendanaan-pendanaan terkait investasi ET di Indonesia juga menjadi aspek yang krusial. Beberapa pilihan yang muncul terkait dengan kelembagaan ini adalah membentuk lembaga baru, meningkatkan PT SMI menjadi development bank atau memberikan tugas khusus kepada Exim Bank. Saat ini, Kementerian ESDM sedang membuat usulan proyek KPBU, yakni penyediaan listrik di daerah terpencil dengan adanya dukungan pembiayaan insentif. Diskusi ini juga menggarisbawahi keterbatasan dana Pemerintah dalam mencapai NDC, khususnya di sub-sektor energi terbarukan. Itu sebabnya diperlukan semakin banyak NSA yang terlibat dalam pengembangan ET.