Peran Energi Terbarukan dalam Mekanisme Pasar untuk Mencapai Target NDC Indonesia
Dengarkan audionya:
Indonesia telah menetapkan Nationally Determined Contributions (NDC) dengan target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di tahun 2030 sebesar 29% dari Business as Usual (BAU) dengan sumberdaya sendiri. Target ini dapat ditingkatkan menjadi 41% apabila ada dukungan dan kerjasama dari pihak internasional. Energi menjadi salah satu sektor pengemisi terbesar dalam skenario BAU yang tercantum di dalam NDC. Sektor energi diperkirakan akan menghasilkan emisi sebesar 1,6 miliar tCO2e. Untuk mencapai target penurunan emisi sebesar 29%, sektor energi diharapkan dapat menurunkan emisi GRK sebesar 314 juta tCO2e pada tahun 2030. Itu sebabnya, energi terbarukan memegang peran penting dalam pencapaian target ini.
Kerangka regulasi dan kebijakan terkait kontribusi Energi Terbarukan (ET) terhadap pemenuhan NDC perlu mendapat perhatian para pengambil kebijakan. Misalnya pengaturan tentang optimalisasi pengembangan dan pemanfaatan ET, hak dan kewajiban para pemangku kepentingan terkait, peran lintas kementerian dan lembaga kunci, pelibatan swasta dalam kontribusi ET terhadap NDC, mekanisme kelembagaan yang diperlukan, dan keterkaitan pengaturan kontribusi ET terhadap pemenuhan NDC dengan kerangka pengaturan dan kebijakan lain di Indonesia khususnya kerangka pengaturan implementasi pemenuhan NDC dan perdagangan karbon atau ijin emisi.
Hivos bekerja sama dengan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI)Â menyelenggarakan Diskusi Kelompok Terfokus terkait hal ini pada tanggal 18 Februari 2020.
Laksmi Dhewanthi, selaku Staf Ahli Menteri Bidang Industri dan Perdagangan Internasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyampaikan bahwa Indonesia saat ini sedang memutakhirkan NDC, setelah mengajukan NDC pertamanya di tahun 2016 ke UNFCCC. Termasuk di dalam pemutakhiran tersebut adalah peta jalan NDC, di mana kebijakan karbon merupakan bagian yang dinilai penting untuk dikembangkan. Terkait dengan hal ini, saat ini KLHK sedang mengembangkan regulasi terkait carbon pricing.
Hanny J. Berchmans dari USAID ICED menyatakan bahwa Indonesia perlu melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca, terutama dari PLTU batubara, di mana PLTU batubara merupakan persentase terbesar dari pembangkit listrik di Indonesia. Terkait dengan hal tersebut, Indonesia dapat melakukan pendekatan-pendekatan: (i) meningkatkan pembangkit listrik dari energi terbarukan; (ii) meningkatkan fleksibilitas dari pembangkit termal; (iii) menerapkan fleksibilitas tinggi serta kinerja dari pembangkit listrik termal, dan (iv) menerapkan upaya-upaya efisiensi energi.
Moekti Handajani Soejachmoen dari METI pada pertemuan tersebut memperkenalkan konsep perdagangan karbon. Mengambil contoh PLTU Batubara, ia menyatakan bahwa seharusnya Pemerintah mengeluarkan ijin emisi untuk industri. Jika pada akhir periode yang ditentukan, emisi yang dihasilkan dari industri tersebut melewati jumlah ijin emisi yang diberikan, maka pembangkit harus mendapatkan ijin tambahan. Ijin ini dapat diperoleh dari mekanisme offset, membeli di pasar, atau dengan mengikuti lelalng Pemerintah.
Terkait dengan hal tersebut, Henriette Imelda dari Hivos menyampaikan bahwa, sebelum industri dapat memperoleh ijin tambahan tersebut, industri harus melakukan upaya penurunan emisi gas rumah kaca terlebih dahulu. Mengenai lelang, Indonesia dapat menggunakan platform seperti ICDX (Indonesia Commodity and Derivatives Exchange). Agar dapat menggunakan platform ini, maka diperlukan mandat dari Kementerian Perdagangan, yang menetapkan bahwa karbon merupakan komoditas.
Paul Butar-Butar dari METI menyatakan bahwa target penurunan emisi gas rumah kaca dari sektor energi sebagaimana tercantum dalam NDC Indonesia, tentunya akan memerlukan dana yang sangat besar. Untuk dapat melakukan hal ini, terdapat 3 pilihan yang dapat digunakan: (i) command and control, yaitu melalui pengaturan berupa kewajiban pemasangan PV rooftop untuk setiap pembangunan rumah atau Gedung baru, misalnya; (ii) penerapan carbon pricing; dan (iii) offset.
Walau demikian, untuk dapat melakukan ini semua, peran regulasi sangat penting. Andri Akbar Marthen dari METI menyampaikan bahwa saat ini UU no. 32 tahun 2009 belum mencakup perihal emisi gas rumah kaca. Hal ini membuat basis hukum penerapan skema perdagangan karbon di Indonesia, perlu dibuat. Indonesia sebenarnya sudah memiliki basis awal mengenai penetapan batas emisi di sektor energi, melalui pasal 12 Peraturan Pemerintah nomor 70 tahun 2009. Pasal ini dapat dikembangkan, untuk menentukan ijin yang diberikan oleh Pemerintah kepada industri, terkait dengan emisi gas rumah kaca.