Main content

Dengarkan audionya:

Pada tanggal 24 Juni 2020 yang lalu, Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) bekerja sama dengan Hivos, melaksanakan diskusi kelompok terfokus terkait dengan dukungan keuangan berkelanjutan untuk energi terbarukan dalam rangka pencapaian NDC. Diskusi tersebut selain untuk mendapatkan gambaran dari kebijakan terkait sub-sektor energi terbarukan, termasuk pembiayaannya, namun juga untuk mendapatkan gambaran dan informasi mengenai berbagai inisiatif yang telah dilakukan di sisi pengembangan maupun pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia. Diskusi ini dipandu oleh Bapak Paul Butarbutar dari METI.

Bapak Immanuel Haposan Manurung, Investment Officer Proparco, menjelaskan mengenai Proparco, yang merupakan bagian dari Agence Francaise De Development (AFD) dan telah berdiri sejak tahun 1977. Hal yang membedakan AFD dengan Proparco adalah AFD terkait dengan sektor publik atau pemerintah, sementara Proparco fokus pada sektor swasta. Proparco memiliki misi untuk menstimulus pertumbahan ekonomi di negara berkembang, mempromosikan SDGs, dan juga mendukung Persetujuan Paris dengan mendorong berbagai negara untuk dapat mencapai komitmen mereka dalam menurunkan emisi GRK. Mandat Proparco bukan hanya terkait power and infrastructure, namun juga financial inclusion yang mencakup upaya membantu lembaga keuangan perbankan.

Sejak tahun 2000, Proparco telah melakukan 193 transaksi senilai USD 4,7 milyar untuk power dan infrastructure, di mana 65%-nya didominasi oleh power. Sedangkan sektor yang mendominasi power, adalah energi terbarukan. Proparco memiliki 4 produk pembiayaan:

  1. Debt, senior debt (hutang dalam jangka waktu panjang) dan junior debt (hutang dalam waktu singkat serta bisa melengkapi senior debt);
  2. Equity, terbagi dalam dua yakni saham yang direct ke proyeknya dan yang bersifat indirect;
  3. Capacity development, dalam hal ini Proparco memberikan dukungan untuk peningkatan kapasitas terkait ESS, governance dan lainnya;
  4. Guarantee, ada dua jenis mitigasi risiko gagal bayar yakni jaminan langsung dan jaminan tidak langsung.

Saat ini, pembiayaan proyek ET yang ada, ditujukan untuk solar (39 proyek), wind (27 proyek), hidro (19 proyek), biomassa (11 proyek), dan beberapa sumber energi terbarukan lainnya.

BCA telah menyiapkan rencana aksi keuangan berkelanjutan sesuai arahan OJK, sebagaimana disampaikan oleh Ibu Yayi Mustika Pudyanti, Vice President Group Corporate Banking PT. Bank Central Asia Tbk (Bank BCA), dalam paparannya mengenai “Financing Renewable Energy Power Plant Project”. Khusus untuk energi bersih, BCA memiliki target pertumbuhan portofolio average industry pada umumnya, yakni 7% dengan fokus kepada mini-hydro dan PLTA. Secara khusus untuk energi terbarukan, BCA telah mendukung renewable energy power plant dengan eksposur terbesar RP 1,7 triliun. Adapun eksposur itu mencakup PLTA, PLTMh, PLTBm dan PLTBg dengan total 157,96 MW.

Dalam penerapannya, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi oleh BCA, seperti:

  1. Membiayai renewable energy power plant merupakan pengalaman yang baru bagi BCA, sehingga tidak familiar dengan business risk, raw material risk, dan technical risk;
  2. Kualitas dari feasibility study yang dilakukan;
  3. Power Purchase Agreement (PPA). Dulu belum ada take or pay clause, namun sekarang sudah ada take or pay clause sehingga sebenarnya bisa meningkatkan kenyamanan bank itu sendiri;
  4. Risiko konstruksi, hal ini merupakan risiko terbesar yang ditemui. Risiko ini akan berpengaruh pada tepat atau tidaknya target yang ingin dicapai dan hal ini akan berpengaruh pada RAB proyek;
  5. Risiko operasional, risiko ini lebih dapat termitigasi dibanding risiko konstruksi, terutama ketika proyek sudah berjalan;
  6. Legal lending limit dan industry limit. Legal lending limit dapat diartikan juga sebagai batas maksimum pemberian kredit.

Hal yang sudah dilakukan BCA untuk mendukung ET, di antaranya adalah mengkombinasikan skema pembiayaan proyek dengan corporate financing; menganalisa bankability dari proyek; recourse project financing; cash flow waterfall scheme; dan bilateral and syndicated loan.

BRI pun telah melakukan pembiayaan di sektor energi terbarukan, yang mencakup PLTA dan PLTS. Ibu Kristina Lestari Ningsih, Executive VP Enterprise Risk & Portfolio Management Division PT. Bank Rakyat Indonesia (Bank BRI), memaparkan perlunya setudi kelayakan yang dilakukan oleh lembaga kompeten, serta adanya verifikasi hasil dari lembaga yang independent. Hal ini akan meningkatkan keyakinan dari lembaga keuangan untuk membiayai proyek tersebut.

Pada diskusi terkait dengan materi yang dipaparkan, baik BCA ataupun BRI menyatakan kemungkinan untuk kedua lembaga ini memberikan project financing. Walau demikian, bagi BRI, beberapa persyaratan tetap harus dipenuhi. Misalnya, ada komponen pendanaan sendiri sebesar kurang lebih 35%. Selain itu, sebagai basis kelayakan untuk menyediakan pembiayaan, maka BRI memberikan batasan IRR antara 14% - 17%, serta masa lama pinjaman yang diberikan memiliki jangka waktu 8 tahun.

BCA melakukan kombinasi pembiayaan project financing. Bagi BCA, sustainability project dilihat tidak hanya terbatas pada IRR. Sedangkan untuk masa lama pinjaman yang diberikan akan berbeda berdasarkan jenis proyek. Contohnya, untuk Biomassa akan berlaku masa pinjaman antara 7 atau 8 tahun. Namun, untuk mini hydro akan lebih panjang sekitar 10 sampai 12 tahun.

OJK sendiri tidak memberikan larangan bagi lembaga keuangan apapun untuk melakukan project financing. OJK juga menyatakan bahwa kewenangan akan kembali kepada bank terkait, sehingga OJK tidak dapat memaksa.

BCA juga menyatakan, bahwa akan ada kemungkinan untuk memberikan pembiayaan bundling antara perumahan dan solar rooftop. Akan tetapi, hal tersebut harus didiskusikan bersama dengan developer terutama dalam pengemasan paket yang akan dijual.