Forum Belajar #2: Tata Kelola Pengelolaan Energi di Indonesia
Dengarkan audionya:
Oleh Lina Noviandari, Knowledge Management Consultant Strategic Partnership Green and Inclusive Energy
Transisi menuju sistem energi terbarukan harus direncanakan secara baik melalui komitmen, dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak, salah satunya adalah kelompok atau organisasi masyarakat sipil (seperti CSO dan NGO). Peran kelompok ini sangat penting dalam upaya mendorong transisi energi terbarukan (ET) yang inklusif dan berkelanjutan di Indonesia baik itu dalam hal advokasi kebijakan, kampanye penyadartahuan dan edukasi, maupun implementator di lapangan.
Sadar akan pentingnya peran tersebut, WWF-Indonesia bersama dengan CSO dan NGO yang memiliki perhatian besar dalam isu ET dan konservasi energi, yakni Hivos, 350 Indonesia, Aceh Geothermal Forum, Coaction Indonesia, IESR, Indonesian Parliamentary Center, Oxfam, dan Yayasan Indonesia Cerah, menginisiasi seri Forum Belajar online bersama. Forum Belajar ini ditujukan sebagai ruang untuk menambah pengetahuan dan berbagi pengalaman serta berjejaring dalam menyuarakan dan mendorong transisi menuju ET yang inklusif dan berkelanjutan.
Pada Forum Belajar kedua yang diselenggarakan pada 25 Juni 2020 lalu, Grita Anindarini, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dan Tata Mustasya, Greenpeace hadir menjadi pembicara untuk membahas tentang tata kelola pengelolaan energi di Indonesia.
Dasar, prinsip dan regulasi tata kelola energi di Indonesia
Menurut Grita, merujuk pada UU Energi No.30/2007, tata kelola energi Indonesia ditujukan untuk menjamin penyediaan dan pemanfaatan energi bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Guna mencapai tujuan tersebut, menurut UU yang sama, tata kelola energi harus didasarkan pada prinsip-prinsip kemanfaatan, efisiensi berkeadilan, peningkatan nilai tambah, keberlanjutan, kesejahteraan masyarakat, pelestarian fungsi lingkungan hidup, ketahanan nasional, dan keterpaduan.
Meskipun demikian, pada praktiknya, Grita menilai prinsip-prinsip tata kelola energi tersebut belum cukup menjawab tantangan dan kebutuhan yang ada. Grita menyampaikan bahwa banyak masalah terjadi akibat tata kelola energi yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip penting lainnya seperti kejelasan kebijakan, partisipasi publik, transparansi, berkedaulatan, dan akuntabilitas. Konflik antara masyarakat dan pengelola energi misalnya bisa muncul karena tidak adanya transparansi dan partisipasi publik.
Selain luputnya prinsip-prinsip penting, Grita menilai sistem regulasi di Indonesia yang kompleks menjadi kendala bagi pengelolaan energi di negara ini. Banyaknya lapisan regulasi menyebabkan masalah seperti adanya peraturan yang tidak tepat sasaran dan saling bertindihan. Ini juga menyebabkan ketidakpastian hukum yang juga berkontribusi pada lambatnya pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
Jika ingin menerapkan tata kelola yang baik, Grita berpendapat bahwa selain menyederhanakan sistem hukum, pemerintah juga harus memperbaiki implementasi pengelolaan energi selama ini; mulai dari tahap perencanaan hingga operasi harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat, melibatkan partisipasi publik dan dilakukan secara transparan.
Pentingnya political will dalam tata kelola energi
Berbicara tentang peluang dan tantangan sektor energi di Indonesia, Tata Mustasya menyampaikan bahwa tata kelola energi biasanya mengikuti arah kebijakan energi negara. Karena situasi politik dan ekonomi sangat mempengaruhi arah kebijakan energi kita, Tata menilai political will dari pemerintah sangatlah penting.
Tata mencontohkan Vietnam yang meski di tahun 2018 punya bauran ET yang kurang lebih sama dengan Indonesia, berhasil mengembangkan ET dengan pesat di tahun 2019; jauh meninggalkan Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya. Dengan sumber daya yang kurang lebih sama, bahkan lebih baik, Indonesia semestinya bisa seperti Vietnam.
Sayangnya, Tata melanjutkan, tata kelola energi kita cenderung masih difokuskan untuk PLTU. Padahal, dengan target bauran ET 23 persen di 2025, Indonesia harusnya mulai fokus mengembangkan ET untuk mengejar ketertinggalan.
Kurangnya political will ini, menurut Tata, salah satunya disebabkan karena adanya konflik kepentingan. Tata menyampaikan bahwa banyak elit politik Indonesia mempunyai bisnis batu bara, sehingga political will untuk menghentikan ketergantungan batu bara kurang. Ini menjadi salah satu tantangan konkret yang menghambat transisi dari batu bara menuju ET.
“Jika punya political will, Indonesia pasti bisa. Terbukti dengan banyaknya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah saat ini. Oleh karena itu, kita harus terus mendorong pemerintah dan mengingatkan mereka agar lebih akuntabel,” pungkas Tata.
Simak webinar Forum Belajar #2 selengkapnya melalui tautan ini.