Workshop Isu Energi Terbarukan untuk Jurnalis #4: Perkembangan dan Arah Kebijakan Energi Terbarukan di Indonesia
Dengarkan audionya:
Oleh Lina Noviandari, Knowledge Management Consultant Strategic Partnership Green and Inclusive Energy
Setelah sukses dengan program Media Fellowship tahap satu, Mongabay Indonesia kembali menjalankan program Media Fellowship tahap dua dengan dukungan dari Hivos melalui kerangka Strategic Partnership for Green and Inclusive Energy (SP-Energy). Setelah sebelumnya berfokus mengangkat isu energi terbarukan (ET) di dua area kerja program SP-Energy yakni Jawa Tengah dan NTT, Media Fellowship tahap dua ini mengajak jurnalis meliput perkembangan ET di NTB, Sulawesi Selatan dan Jawa Timur.
Sebelum memberikan workshop isu ET di masing-masing wilayah tersebut, Mongabay membekali para jurnalis dengan pengetahuan dasar tentang ET dan isu ET di tingkat nasional. Pada 13 Juli lalu, Fabby Tumiwa selaku Direktur IESR dan Surya Darma selaku Ketua METI hadir menjadi pembicara untuk membahas perkembangan ET dan arah kebijakan ET di Indonesia.
Membuka workshop kali ini, Fabby Tumiwa menyampaikan adanya transisi global menuju ET yang didorong oleh tiga tren utama yakni decentralization of energy, digitalization dan decarbonization (3D). Dalam satu dekade terakhir, dengan semakin populernya tren energi bersih dan menurunnya biaya teknologi ET, pengembangan ET dunia meningkat pesat.
Meski secara global meningkat, perkembangan ET di Indonesia terbilang lambat. Menurut Fabby, Indonesia punya potensi ET besar yakni mencapai sekitar 442,4 GW. Saking besarnya, Fabby menggambarkan bahwa jika 1 persen saja wilayah Indonesia ditutupi panel surya, maka negara ini bisa memproduksi sekitar 7.000 terra watt/hour per hari. Sayangnya, hingga kini Indonesia baru memanfaatkan 2 persen dari potensi ET yang besar tersebut atau sekitar 10 GW. Menargetkan bauran ET 23 persen pada 2025, Indonesia baru mencapai 9,15 persen di 2019.
Kurangnya pendanaan atau investasi menjadi salah satu faktor lambatnya pengembangan ET di negara ini. Menurut Fabby, daya tarik investasi ET di Indonesia lebih rendah jika dibandingkan negara-negara ASEAN lain seperti Vietnam dan Malaysia.
Berbicara tentang arah kebijakan ET, Surya Darma menyampaikan bahwa minat investor yang rendah tersebut sebagian besar disebabkan oleh isu kebijakan dan peraturan ET di negara ini. Beberapa di antaranya adalah peraturan yang rumit (misalnya terkait perizinan), adanya ketidakpastian hukum (sering berubah dan berselisihan dengan peraturan lain), tidak diperhatikannya aspek keekonomian berkeadilan (penetapan harga yang tidak fair).
Menurut Surya, jika serius mengembangkan ET, pemerintah harus membuat kebijakan yang berpihak pada ET. Menciptakan a level playing field untuk ET, misalnya bisa mendukung ET untuk bersaing dengan sumber energi fosil. Kebijakan yang menciptakan iklim investasi yang baik tentunya bisa meningkatkan daya tarik investor untuk mengembangkan ET di Indonesia.
Berita baiknya, menurut Surya, tahun ini RUU EBT masuk prolegnas prioritas. Oleh karena itu, Surya mengajak semua kalangan, termasuk jurnalis untuk membantu mengawal proses pembuatan UU ini maupun pelaksanaannya nanti.
Surya mencontohkan bahwa UU No. 30/2007 tentang Energi sebenarnya juga mengatur pemanfaatan ET. Sayangnya, banyak amanat dalam UU Energi tersebut yang belum dijalankan oleh pemerintah. Kebijakan-kebijakan yang sudah ada seperti KEN dan RUEN belum sepenuhnya menjadi acuan pengelolaan energi nasional. “RUPTL yang dibuat oleh PLN, misalnya, banyak yang tidak mengacu ini [RUEN]. [Hal-hal seperti] ini yang sekarang kita desak untuk ditertibkan,” jelas Surya.
Di sinilah, jurnalis bisa berperan besar. Selain menyiarkan informasi dan mengedukasi publik terkait isu energi, jurnalis juga harus bersikap kritis mengawasi dan mengingatkan pemerintah untuk menjalankan tanggung jawabnya secara transparan dalam penyediaan akses energi yang adil dan berkelanjutan bagi seluruh masyarakat. Misalnya, Surya mencontohkan, ketika pemerintah melaporkan bahwa rasio elektrifikasi sudah hampir mencapai 99 persen sementara masih banyak sekali daerah yang belum teraliri listrik, jurnalis harus mempertanyakan definisi rasio elektrifikasi seperti apa yang digunakan pemerintah.
Terkait peran kritis media ini, Fabby juga mencontohkan masih adanya perdebatan terkait diksi EBT (energi baru terbarukan) yang digunakan pemerintah. “Jurnalis harus kritis ketika diksi ini dipakai oleh politisi; apa implikasi serta konsekuensinya [dari pemilihan diksi].”
Simak Workshop Isu Energi Terbarukan untuk Jurnalis #4 selengkapnya melalui tautan ini.