Workshop Isu Energi Terbarukan untuk Jurnalis #5: Belajar dari Pengalaman Program Energi Terbarukan Inklusif untuk Warga
Dengarkan audionya:
Oleh Lina Noviandari, Knowledge Management Consultant Strategic Partnership Green and Inclusive Energy
Setelah membekali para jurnalis dengan materi perkembangan ET dan arah kebijakan ET di Indonesia pada workshop sebelumnya, pada 14 Juli lalu Mongabay memberi kesempatan bagi para jurnalis untuk belajar dari pengalaman program-program ET yang sudah ada. Tri Mumpuni, Direktur IBEKA; Gus Firman, Field Project Community and MEL Officer Hivos; Mike Verawati Tangka, Sekjen KPI; dan Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI hadir menjadi pembicara pada workshop yang diselenggarakan secara daring ini.
Pembangunan ET berorientasi kesejahteraan masyarakat
Berkaca dari pengalamannya bersama IBEKA membangun PLTPH (pico hydro) dan PLTMH (micro hydro) di beberapa daerah di Indonesia, Tri Mumpuni menekankan pentingnya pembangunan yang social-driven. Menurut Mumpuni, kesejahteraan masyarakat harus menjadi tujuan utama dari semua pembangunan. Sehingga, mempersiapkan dan melibatkan masyarakat merupakan prasyarat yang harus dipenuhi.
Tidak hanya memperlancar implementasi proyek, melibatkan masyarakat juga bisa meningkatkan sense ownership yang penting untuk untuk keberlanjutannya. “Banyak proyek pemerintah yang tidak berkelanjutan. Karena masyarakat tidak disiapkan, baik dari segi knowledge, kesadaran, keinginan, hingga maintenance,” jelas Mumpuni.
Senada dengan Mumpuni, Gus Firman juga menyampaikan bahwa pelibatan masyarakat dari awal merupakan kunci dari keberhasilan program Sumba Iconic Island (SII). Firman menekankan pentingnya feasibility study untuk melihat seperti apa kondisi masyarakat, mulai dari segi kebutuhan, potensi, kemampuan membayar, dan kapasitas mereka. “Kita harus melihat dulu karakter masyarakat seperti apa, strukturnya seperti apa, kebutuhannya apa. Lihat kemampuan finansial mereka, dan juga peluang peningkatan ekonomi [yang bisa dihasilkan dari pembangunan ET],” tutur Firman.
Tidak hanya itu, biaya pengelolaan juga harus dipikirkan dan disiapkan, misalnya pengadaan uang kas dari iuran masyarakat. Menurut Firman, mempersiapkan masyarakat untuk mandiri dalam pengelolaan harus dilakukan supaya pemanfaatan ET tetap berlanjut meski proyek sudah selesai.
Pelibatan kelompok perempuan dan konsumen
Selain melibatkan masyarakat secara umum, menurut Mike Verawati Tangka, pembangunan ET juga harus inklusif dan responsif gender. Mike menjelaskan bahwa sebagai penyedia utama energi rumah tangga, perempuan secara tidak proporsional terpengaruh oleh kekurangan atau ketiadaan energi. Merekalah kelompok yang paling terdampak dalam hal kesehatan, keamanan, kesempatan berusaha dan berorganisasi.
“Pengalaman akses energi perempuan dan laki-laki berbeda. Ketiadaan perspektif gender dan inklusi dalam pembangunan dan tata kelola energi membuat pola eksplorasi energi terlalu makro dan kurang mempertimbangkan aspek keragaman yang sebenarnya bisa digunakan untuk membaca proyeksi dan keberlanjutan energi,” jelas Mike.
Oleh karena itu, menurut Mike, perempuan harus didorong untuk berpartisipasi dan ikut andil dalam pengambilan keputusan tentang pengembangan ET di lingkungannya. Salah satu hal yang bisa diupayakan adalah meningkatkan kapasitas perempuan baik dari segi pengetahuan tentang isu energi, hingga soft skill seperti kemampuan berdialog dan bernegosiasi.
Mike mencontohkan program KPI di Jawa Tengah yang didukung Hivos melalui kerangka SP-Energy. Dalam program ini KPI meningkatkan pengetahuan dan kesadaran kritis anggota Balai Perempuan terhadap isu energi dan kaitannya dengan isu perempuan, serta meningkatkan kemampuan advokasi mereka. Balai Perempuan kini sudah bisa membuka ruang dialog kebijakan dengan pemerintah daerah setempat untuk penyediaan energi bersih di daerah mereka.
Berkaitan dengan pemanfaatan energi, menurut Tulus Abadi, penyediaan energi juga harus mempertimbangkan perspektif si penggunanya sendiri. Sebagai konsumen, masyarakat lebih memilih sumber energi yang mudah diakses dan murah atau terjangkau oleh mereka. Pengembangan ET tidak akan berjalan jika tidak ada permintaan dari penggunanya. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan pengembang ET untuk melihat kebutuhan dan kemampuan konsumen ini.
Hal yang tak kalah penting juga, menurut Tulus, adalah meningkatkan kesadaran dan wawasan konsumen terkait isu energi, produk alternatif yang lebih bersih, dan praktik penghematan energi yang secara langsung bisa mendorong pengembangan ET. Untuk tujuan ini, upaya edukasi, pelatihan atau transfer pengetahuan lainnya perlu dijalankan.
Simak Workshop Isu Energi Terbarukan untuk Jurnalis #5 selengkapnya melalui tautan ini dan ini.