Main content

Dengarkan audionya:

Oleh Lina Noviandari, Knowledge Management Consultant Strategic Partnership Green and Inclusive Energy

Salah satu tantangan terbesar dari pengembangan energi terbarukan (ET) di Indonesia adalah kurangnya investasi dan sumber pendanaan. Dibandingkan negara-negara tetangga, indeks daya tarik ET di Indonesia termasuk yang paling rendah. Apa saja isu yang menyebabkan kurangnya investasi ini?

Untuk membahas tentang hal tersebut, Alin Halimatussadiah, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat - Universitas Indonesia (LPEM-UI) dan Muhammad Ery Wijaya, Climate Policy Initiatives (CPI) hadir menjadi pembicara dalam Forum Belajar kelima yang diselenggarakan secara daring pada 15 Juli lalu. Alin dan Ery berbicara tentang isu pendanaan serta aspek penting, tantangan dan peluang untuk meningkatkan pendanaan energi terbarukan di Indonesia.

Forum Belajar sendiri merupakan seri diskusi daring yang diinisiasi oleh WWF-Indonesia bersama dengan CSO dan NGO yang memiliki perhatian besar dalam isu ET dan konservasi energi, yakni Hivos, 350 Indonesia, Aceh Geothermal Forum, Coaction Indonesia, IESR, Indonesian Parliamentary Center, Oxfam, Yayasan Sandika, dan Yayasan Indonesia Cerah, sebagai ruang untuk menambah pengetahuan dan berbagi pengalaman serta berjejaring dalam menyuarakan dan mendorong transisi menuju ET yang inklusif dan berkelanjutan.

Isu dan peluang pembiayaan ET dari sektor swasta

Meski secara global meningkat pesat, pertumbuhan pengembangan ET di Indonesia tergolong lambat. Dengan target bauran ET sebesar 23 persen di tahun 2025, Ery mengatakan bahwa bauran ET di Indonesia masih jauh dari target, yakni baru mencapai 13,65 persen. Oleh karena itu, pembangunan pembangkit ET harus segera digenjot.

Namun, untuk mencapai target itu diperkirakan perlu investasi yang cukup besar, mencapai sekitar Rp1.000 triliun. Salah satu pihak yang paling bisa berperan besar dalam pembiayaan ini adalah sektor swasta. Sayangnya, hingga kini Indonesia masih kesulitan untuk menarik investor mengembangkan ET.

Menurut Ery, ada sejumlah isu dan risiko yang menghambat investasi swasta ini. Di antaranya adalah profil return of investment (ROI) yang tidak menarik. Kebutuhan modal untuk mengembangkan ET terbilang tinggi, namun perlu waktu lama untuk mendapat ROI atau balik modal. Sementara itu, selama ini produk finansial yang mendominasi adalah pinjaman bank. Sayangnya, selain suku bunga yang tinggi, kebanyakan bank hanya memberikan pinjaman jangka pendek, padahal ROI ET terbilang lama. Skala proyek ET yang kebanyakan berskala kecil juga tidak menarik bagi swasta. Hal ini karena semakin kecil sebuah proyek ET, maka semakin besar cost of fund yang dibutuhkan.

Ery menyimpulkan bahwa sama seperti bisnis lainnya, investor akan melihat keuntungan yang akan mereka dapat sebelum menanamkan modalnya untuk mengembangkan ET. “Uang tidak mengenal brown atau green, tapi berapa keuntungannya.”

Hal senada juga disampaikan oleh Alin. Menurutnya, status ET sebagai pasar baru dengan risiko yang dinilai tinggi membuat investor enggan untuk masuk. “Yang jelas, dari perspektif lender, pinjaman akan diberikan kalau proyek itu dinilai layak atau feasible. Kelayakan ini dilihat dari hal-hal seperti penghitungan risiko dan ROI. Tapi investor di Indonesia belum familiar dengan risiko proyek ET.”

Selain dari segi cost dan risiko, Alin juga menjelaskan bahwa regulasi yang sering berubah, kebijakan sektoral yang tidak mendukung serta kurangnya insentif juga membuat investor enggan. Sehingga, jika ingin menarik minat swasta untuk meningkatkan investasi ET, maka pemerintah harus fokus menghilangkan hambatan dan risiko tersebut. Investor perlu yakin bahwa berinvestasi pada pengembangan ET merupakan usaha yang menguntungkan.

Salah satu hal yang bisa diupayakan pemerintah adalah menciptakan a level playing field. Sebagai sektor baru, ET seharusnya mendapat dukungan lebih dan perlakuan berbeda dari pemerintah. Namun, selama ini kebijakan yang ada seolah cenderung masih mendukung fosil dan memberatkan ET. Misalnya, kebijakan harga listrik berdasarkan BPP (biaya pokok penyediaan) dinilai tidak adil bagi ET karena tidak menguntungkan pengembang.

Alin juga menyampaikan bahwa opsi memberikan insentif fiskal seperti keringanan pajak dan pemberian subsidi, atau insentif non-fiskal seperti regulasi sektoral yang suportif bisa digunakan sebagai upaya untuk menarik swasta berinvestasi pada pengembangan ET.

Diskusi Forum Belajar #5 bisa disimak secara lengkap di sini.