Main content

Oleh Lina Noviandari, Knowledge Management Consultant Strategic Partnership Green and Inclusive Energy

Sejak 2014, Indonesia sudah menjadi net oil importer. Ketergantungan sumber energi fosil merupakan salah satu sebabnya. Ketergantungan ini juga ikut berkontribusi pada produksi emisi karbon Indonesia yang tinggi, dan terus naik dari tahun ke tahun. Bahkan, proyeksi emisi GRK Indonesia mencapai hampir dua kali lipat dari standar dunia. Dan sebagai salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di Indonesia, sektor industri dan korporasi bisa ikut andil dalam upaya penurunan emisi GRK ini.

Vice President of Operations Xurya Daya Indonesia, Philip Effendy, berbicara tentang hal tersebut pada acara Bincang Alam bertajuk “Peran Industri dan Korporasi dalam Mengurangi Produksi CO2” yang diselenggarakan oleh Mongabay Indonesia pada 27 September 2020. Xurya sendiri merupakan perusahaan startup energi terbarukan yang secara khusus menyediakan solusi PLTS Atap.

Acara yang diselenggarakan secara daring ini merupakan bagian dari rangkaian program Media Fellowship yang dijalankan oleh Mongabay dengan dukungan dari Hivos melalui kerangka Strategic Partnership for Green and Inclusive Energy (SP-GIE). Kegiatan ini diharapkan bisa menambah pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang isu energi terbarukan, serta meningkatkan peliputan media terkait isu terkait.

Mengurangi produksi CO2 dengan memanfaatkan atap

Selain residensial, sektor industri dan komersial merupakan sektor dengan konsumsi energi terbesar. Philip menyampaikan bahwa industri dan bisnis sendiri menyerap sekitar 50 persen konsumsi listrik di Indonesia.

Oleh karena itu, menurut Philip, salah satu aksi nyata yang bisa dilakukan industri dan korporasi dalam upaya menurunkan produksi CO2 adalah mengubah gaya konsumsi energi mereka. Yakni beralih dari energi fosil ke energi terbarukan.

Indonesia sendiri memiliki banyak sekali potensi sumber energi terbarukan, termasuk surya, air, angin, dan panas bumi, yang bisa dimanfaatkan. Dan surya, menurut Philip, salah satu yang paling mudah dan feasible untuk dimanfaatkan oleh industri dan korporasi. “Perusahaan bisa memanfaatkan atap gedung mereka,” terang Philip.

Selain ramah lingkungan, sinar matahari merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang paling melimpah di Indonesia. “Indonesia merupakan salah satu negara yang paling baik untuk pengembangan PLTS. Karena irradiance atau intensitas sinar matahari Indonesia terbilang tinggi. Selain itu, sebagai negara tropis yang hanya memiliki dua musim, Indonesia memiliki pasokan sinar matahari yang konsisten,” jelas Philip.

Terkait harga, Philip menyampaikan bahwa memang masih banyak yang menilai PLTS Atap mahal karena biaya pemasangannya yang besar. Padahal, jika dilihat dari segi manfaat bagi lingkungan dan keuntungan pemakaian, tidak begitu adanya. “Biaya awal memang besar, tapi untuk jangka panjang ini murah. Karena biasanya jangka waktunya 25 tahun. Selain itu, harga instalasi solar panel punya tren turun dari tahun ke tahun.”

Philip juga menyampaikan bahwa, sudah ada dukungan dari pemerintah untuk mendorong bisnis dan industri untuk menggunakan PLTS. Misalnya, Permen ESDM No.16/2019 tentang biaya kapasitas pengadaan bagi konsumen sektor industri dengan mengurangi dari 40 jam menjadi 5 jam. “Tapi memang, masih perlu dukungan peraturan yang lebih baik lagi dari pemerintah.”

Lalu, apa saja tantangannya? Selain kurangnya pemahaman terkait PLTS dan teknologinya, Philip menyampaikan, “Sudah ada dukungan terhadap PLTS, tapi masih kalah kompetisi dari sumber fosil, sesuatu yang sudah familier dan nyaman bagi mereka.”

Oleh karena itu, menurut Philip, korporasi perlu diyakinkan terhadap benefit yang bisa mereka dapat dari menggunakan PLTS Atap ini. “Harus ada edukasi di awal. Terkadang companies sudah tahu konsepnya, tapi tidak tentang pengetahuan teknis seperti apa benefitnya, pemasangannya, kapasitasnya, dan cara menjaganya.”

Philip berharap, dengan dukungan yang cukup dari pemerintah dan edukasi yang tepat, akan semakin banyak perusahaan yang beralih menggunakan sumber energi terbarukan, khususnya PLTS Atap di masa mendatang.

Simak Bincang Alam #1 selengkapnya di bawah ini: