Main content

Artikel ini ditulis oleh Cherika Hardjakusumah (Communications Coordinator HPNET), dan diedit oleh Dipti Vaghela (Co-founder and Manager HPNET). Sebagian konten dalam artikel ini diperoleh dari Lina Noviandari (Knowledge and Management Consultant Hivos SEA) dan Rita Kefi (Gender Consultant Hivos SEA). Artikel asli dalam Bahasa Inggris bisa diakses di situs HPNET melalui tautan ini.

Seri blog Earth Voices menyoroti hubungan antara pembangkit listrik tenaga air skala komunitas, konservasi yang dipimpin oleh masyarakat adat, dan pembangunan berkelanjutan. Earth Voices mengeksplorasi bagaimana mikrohidro skala komunitas memperkuat tradisi lingkungan dengan mendorong penguatan daerah aliran sungai, yang dapat memberi pasokan listrik yang andal dan berkelanjutan.

Pada artikel Earth Voices edisi kali ini, HPNET mengulas tentang Desa Luku Wingir yang terletak di Kabupaten Sumba Timur, NTT. Di tahun 2018, Luku Wingir ditunjuk sebagai desa pilot untuk Inisiatif Desa Model Integrasi Gender dalam Sektor Energi Terbarukan di Sumba. Dilaksanakan di bawah kerangka Strategic Partnership Green and Inclusive Energy (SP-GIE), program Desa Model bertujuan untuk mengakselerasi PUG dalam sektor energi terbarukan di pulau tersebut. Diinisiasi oleh Hivos dan KPPPA, program multi-pihak ini memungkinkan kolaborasi berbagai sektor termasuk di antaranya pemerintah mulai dari tingkat desa hingga pusat, masyarakat lokal, CSO lokal, dan sektor akademik.

Pada kesempatan ini, HPNET berbincang-bincang dengan Ibu Rita Kefi dari Hivos SEA, dan perwakilan CSO lokal yang ikut terlibat dalam program, yaitu Ibu Trouce Landukara dan Bapak Aryanto Umbu Kudu untuk menggali lebih jauh soal kehidupan masyarakat Luku Wingir dan bagaimana mikrohidro telah membawa perubahan positif bagi perkembangan sosial dan ekonomi desa tersebut.

Indonesia dan akses energi

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di Asia Tenggara dengan penduduk 250 juta jiwa. Indonesia memiliki kebutuhan energi yang tinggi dengan kondisi alam yang menantang. Walaupun pemerintah Indonesia mencatat rasio elektrifikasi di Indonesia sudah mencapai 99 persen, pada kenyataannya beberapa wilayah di Indonesia masih kesulitan mengakses energi. Salah satu faktor penyebabnya yaitu karena adanya ketimpangan antara pembangunan infrastruktur di kota dan di perdesaan. Masih ada sekitar 433 desa di Indonesia yang belum dialiri listrik (Pidato Presiden Joko Widodo 3 April 2020), diantaranya 325 desa Papua, 102 desa Papua Barat, 5 desa di NTT, dan 1 desa di Maluku.

Mengenal masyarakat Luku Wingir

Desa Luku Wingir memiliki lanskap alam perbukitan, dengan lahan yang cenderung kering, dan memiliki luas 51,8 km persegi. Untuk menuju Luku Wingir membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam dari Waingapu, ibu kota Kabupaten Sumba Timur. Infrastruktur jalan menuju Luku Wingir terbilang masih minim. Meski sejak tahun 2018 kondisi jalan telah membaik sehingga perjalanan dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor, jalur ini tidak dilalui angkutan umum, sehingga akses ke Desa Luku Wingir masih terbatas.

Sumba yang berbukit. Photo credit: Rita Kefi

Ada sekitar 400 penduduk yang tinggal di desa Luku Wingir, dengan rasio laki-laki dan perempuan yang hampir sama. Mayoritas masyarakat bertani dan berladang tanaman jagung, ubi kayu, vanili dan jambu mete. Hasil tanam ini dijual ke Waingapu. Selain bertani, masyarakat juga beternak babi, sapi, kerbau, kuda dan kambing. Sistem pertanian dan peternakan di sana masih menggunakan cara tradisional, sehingga kualitas hasil bertani dan beternak tidak menentu. Teknologi pertanian modern belum masuk ke desa, hanya terbatas pada pupuk kimia. “Dalam hal beternak, masyarakat belum mengenal teknologi penggemukan ternak. Jika saja mereka dilatih dan dibekali pengetahuan tentang itu, mungkin akan membantu meningkatkan produksi daging dan pendapatan mereka,” kata Aryanto yang, melalui program desa model, telah ikut mendampingi masyarakat di desa.

Sebagian besar rumah tangga masih mengandalkan tungku tradisional untuk memasak, sementara beberapa telah disediakan kompor biogas oleh pemerintah. Untuk penerangan, beberapa rumah sudah dilengkapi panel surya, beberapa di antaranya dibiayai oleh pemerintah desa.

Sebelum masuknya agama Kristen ke wilayah Sumba, suku Anawaru di Luku Wingir menganut agama lokal yaitu Marapu. Penganut kepercayaan Marapu memuja arwah-arwah nenek-moyang dan leluhur, dan ritual-ritual keagamaannya lekat dengan alam. Misalnya saja ada upacara sembahyang di hutan, di mata air, dan pohon-pohon besar. Walaupun ritual ini kini mulai ditinggalkan, masyarakat tetap memiliki hubungan spiritual yang dekat dengan alam, dan patuh terhadap nilai-nilai kehidupan yang selaras dengan alam.

Mikrohidro dan peluang ekonomi

Karena persoalan infrastruktur yang belum memadai, Luku Wingir termasuk ke dalam salah satu desa yang kesulitan akses energi. Masyarakat selama ini mengandalkan minyak tanah/lampu minyak hingga tahun 2015.

Kondisi berubah ketika Luku Wingir mulai dialiri listrik yang bersumber dari PLTMH dengan kapasitas 26 kW dari desa tetangga yaitu Desa Waimbidi. Proyek ini menggunakan dana APBD. Dalam proses pembangunannya, masyarakat setempat terlibat secara langsung, dan juga dibekali pelatihan untuk pemeliharaannya. Dengan demikian, muncul rasa tanggung jawab untuk memelihara mikrohidro bersama atas kesepakatan dua desa. Contohnya saja, pada waktu banjir, masyarakat bergotong royong untuk membersihkan dan memperbaiki mikrohidro bersama-sama.

Perempuan tidak terlibat di proses pemeliharaan atau pembangunan mikrohidro, karena lokasi yang jauh dan tidak kondusif dari segi keamanan. Namun, perempuan terlibat aktif dalam pemanfaatan dan operasional mikrohidro. Contoh, di BUMDes Luku Wingir ada satu unit usaha bernama unit usaha energi dan SDA, yang kegiatan utamanya yaitu menarik iuran listrik. Perempuan mengambil peran untuk penagihan iuran untuk disetor ke koperasi di desa induk untuk dikelola dan digunakan sebagai biaya operasional teknisi dan pemeliharaan mikrohidro.

Dalam empat tahun terakhir, listrik sudah stabil masuk desa selama 24 jam. Walaupun belum semua rumah dapat menikmati akses listrik tersebut secara merata, mikrohidro memberi dampak yang nyata pada peningkatan ekonomi rumah tangga. Masyarakat dapat melakukan aktivitas produktif di malam hari. Selain itu, kualitas pendidikan pun membaik, karena waktu belajar anak di luar jam sekolah pun bertambah.

Di luar mikrohidro, masyarakat juga menggunakan sumber energi lain seperti biogas dan panel surya. Panel surya sudah terpasang di beberapa rumah, beberapa bantuan dari pemerintah desa, ada juga yang milik pribadi. Mayoritas penduduk masih mengandalkan tungku tradisional untuk memasak. Sejauh ini baru ada lima keluarga di desa yang sudah menggunakan kompor biogas bantuan dari KPPPA.

Dampak perubahan iklim dan bagaimana masyarakat beradaptasi

Perubahan iklim membawa dampak nyata bagi kehidupan masyarakat Luku Wingir. Tanam jagung yang biasanya dapat dilakukan di bulan Desember, sekarang mundur ke bulan Februari atau Maret. Selain itu, karena ketersediaan benih lokal Sumba sudah berkurang, ada intervensi dari benih-benih tanaman dari luar Sumba (contohnya: tanaman hibrida) yang tidak terlalu adaptif terhadap lingkungan di Sumba. Hal ini mempengaruhi kualitas produksi hasil tanam, dan berdampak pada penghasilan petani.

Perubahan iklim mendorong masyarakat untuk beradaptasi. Karena ancaman ketersediaan bahan pangan yang tidak stabil, masyarakat memanfaatkan lahan pekarangan guna menanam tanaman pangan untuk dikonsumsi pribadi dan untuk dijual. Swasembada pangan juga membantu masyarakat untuk bertahan selama pandemi COVID-19. Mengingat lokasinya, masyarakat Luku Wingir memiliki kontak terbatas dengan kota-kota besar dan turis. Sehingga, sejauh ini relatif aman dan aktivitas perdagangan tetap berjalan seperti biasa.

Selain itu, kelompok tenun tradisional Sumba mulai diaktifkan kembali, sebagai usaha baru untuk mendukung pendapatan. Tenun Sumba masih dibuat handmade dengan cara tradisional. Bahan pewarna yang dipakai pun dari pewarna alam seperti daun, akar, dan buah.

Rekomendasi untuk pengembangan ekonomi Desa Luku Wingir

Dari segi pembangunan desa, Luku Wingir termasuk desa yang cukup maju dibandingkan desa-desa lain di wilayah sekitar. Ada beberapa faktor yang mendorong pembangunan ini. Pertama, Luku Wingir diuntungkan karena letaknya yang berada di desa kecamatan. Kedua, karena terpilih sebagai desa model integrasi gender dalam sektor energi terbarukan, desa ini mendapat perhatian dari pemerintah. Ketiga, karena adanya OPD di Sumba Timur dan hadirnya dukungan program yang mendorong pembangunan desa yang lebih baik.

Kegiatan pembangunan di Luku Wingir. Photo credit: Rita Kefi

Namun masih banyak tantangan yang masih menjadi PR besar untuk peningkatan ekonomi desa. Dalam percakapan kami, Ibu Trouce dan Umbu Aryanto mengajukan beberapa rekomendasi untuk mengatasi tantangan ini.

  • Akses energi yang adil dan inklusif
    Akses energi yang adil untuk semua rumah di desa sangatlah fundamental bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Tidak hanya memastikan semua keluarga memiliki akses listrik dan energi bersih untuk memasak, ini juga akan meningkatkan produksi dan pengolahan hasil pertanian, serta aktivitas pemasarannya. Penyediaan listrik untuk 25 rumah tangga yang belum teraliri listrik di Luku Wingir memerlukan perluasan jalur distribusi sistem mikrohidro yang ada. Ini berarti membangun jalan, yang juga akan meningkatkan jalur transportasi dan logistik, serta membuka tambahan jalur akses pemasaran.
  • Keterampilan untuk pengolahan hasil pertanian
    Mengembangkan keterampilan masyarakat akan membantu meningkatkan daya jual hasil pertanian mereka. Luku Wingir memiliki potensi ekonomi yang besar yang dapat dikembangkan, seperti pengolahan kacang mete, bambu, atau ekonomi kreatif (seperti tenun ikat misalnya). Namun keterbatasan keterampilan masyarakat membuat desa tidak dapat mengembangkan nilai tambah pada produk yang dihasilkannya.

Sebagai desa model, Luku Wingir telah berhasil memberikan contoh bagaimana mikrohidro skala komunitas telah membantu meningkatkan perekonomian lokal, dan mendorong masyarakat di dua desa untuk bekerja bahu membahu, sekaligus melestarikan alam dan menghormati nilai-nilai gotong royong.

Setiap desa memiliki tantangannya sendiri yang memerlukan solusi yang kontekstual. Pembelajaran dan praktik terbaik dari Luku Wingir mungkin bisa diterapkan di tempat lain, terutama untuk desa-desa tetangga yang juga bisa diuntungkan dari proyek mikrohidro.

Untuk mengetahui lebih jauh tentang Desa Model Integrasi Gender dalam Sektor Energi Terbarukan, unduh booklet di sini.