Bincang Alam #2: Gen Z untuk Transisi Energi
Oleh Lina Noviandari, Knowledge Management Consultant Strategic Partnership Green and Inclusive Energy
Saat ini, sektor energi global sedang dalam transisi dari ketergantungan sumber energi fosil menuju energi terbarukan untuk memitigasi krisis iklim. Indonesia sendiri ikut serta dalam upaya transisi ini, dengan menargetkan bauran 23 persen energi terbarukan pada tahun 2025, seperti yang tertera pada Peraturan Pemerintah No. 79/2014.
Namun, hingga tahun 2019, Indonesia baru mencapai sekitar 9 persen bauran ET. Padahal, dengan sumber ET yang melimpah, termasuk sumber daya matahari, angin, air, dan panas bumi, negara ini memiliki potensi pengembangan ET yang besar. Lalu, apa yang bisa diupayakan Gen Z, yang merupakan populasi terbanyak, untuk mendorong transisi ini?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Mongabay Indonesia menyelenggarakan acara Bincang Alam bertajuk “Gen Z untuk Transisi Energi” pada 11 Oktober 2020. Acara yang diselenggarakan secara daring ini mengundang Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah (CERAH), Adithyani “Ditri” Putri, sebagai narasumber. CERAH sendiri merupakan organisasi nirlaba yang bekerja untuk memajukan agenda kebijakan transisi energi di Indonesia.
Acara ini merupakan bagian dari rangkaian program Media Fellowship yang dijalankan oleh Mongabay dengan dukungan dari Hivos melalui kerangka Strategic Partnership for Green and Inclusive Energy (SP-GIE). Kegiatan ini diharapkan bisa menambah pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang isu ET, serta meningkatkan peliputan media terkait isu terkait.
Peran Gen Z dalam transisi ET
Menurut Ditri, ada tiga peran penting yang bisa dimainkan Gen Z dalam transisi ET, yakni konsumen, produsen, dan pengelola ET.
Sebagai konsumen ET, Gen Z perlu menerapkan perilaku konsumsi yang ramah lingkungan dan mengurangi ketergantungan terhadap sumber energi fosil. Misalnya, secara sadar memilih menggunakan gawai dan peralatan elektronik yang energy-efficient. Membeli atau membangun rumah yang eco-friendly. Serta, menggunakan transportasi umum dan transportasi hijau. Dengan gaya hidup seperti ini, permintaan terhadap ET akan semakin meningkat. Dan secara langsung, mempercepat transisi ET.
Selain sebagai konsumen, Gen Z juga bisa terjun langsung sebagai produsen. Misalnya, dengan mendirikan bisnis yang bergerak di bidang ET. Ditri menyampaikan bahwa kini sudah mulai bermunculan kelompok muda yang mendirikan startup ET di Indonesia.
Semakin banyaknya startup ET ini, semakin meningkat pengembangan ET di tanah air. Ini secara langsung juga akan memperbanyak lapangan pekerjaan di sektor ET, karena pengembangan infrastruktur ET juga memerlukan pengelolaan. Menurut Ditri, para Gen Z bisa menggunakan ilmunya untuk mengambil peran ini.
Ditri menyampaikan, ada satu lagi aksi penting yang bisa upayakan Gen Z untuk mendorong transisi ET, yakni menggunakan suara mereka. Sebagai kelompok demografi dengan populasi terbanyak yang pada 2019 saja mencapai 72,8 juta (27 persen), suara Gen Z punya pengaruh besar.
Menurut Ditri, kekuatan suara tersebut harus dipergunakan untuk mendorong pemerintah mempercepat transisi ET. Seringnya, orang-orang mencari tokoh atau figur sebagai inspirasi melakukan sebuah tindakan. Ditri berpendapat, Gen Z bisa mulai dengan dirinya sendiri, dan tidak perlu menunggu.
“Kita punya time limit, yakni climate crisis.” Ditri menyampaikan, jika tidak ada tindakan signifikan, kita hanya punya kisaran waktu 8-9 tahun lagi sebelum akhirnya krisis iklim akan memasuki kondisi irreversible atau tidak dapat diubah atau dihentikan.
“Dan yang akan paling merasakan dampaknya adalah Gen Z [...] Maka, bersuara nya harus [dari] sekarang!” seru Ditri.
Simak Bincang Alam #2 selengkapnya di bawah ini: