Main content

Pada tanggal 30 Oktober 2020 yang lalu, Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia bekerja sama dengan Hivos, mengadakan diskusi virtual terkait dengan potensi pendanaan energi terbarukan di Indonesia. Diskusi ini dilakukan secara virtual, dengan 3 narasumber, yaitu, Bapak Paul Butarbutar dari METI, Bapak Edi Setijawan, Analis Senior dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta Ibu Yayi Mustika Pudyanti dari Bank BCA.

Bapak Paul Butarbutar memaparkan mengenai Potensi Pendanaan Swasta untuk sub-sektor Energi Terbarukan. Di Indonesia, ada beberapa pemangku kepentingan yang berhubungan dengan pengembangan proyek energi terbarukan di Indonesia: regulator (Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM)); kreditur atau pemberi pinjaman (bank milik negara, bank komersil domestik dan bank multinasional); penyedia pendanaan berbasis ekuitas (private equity dan PLN bond); lembaga pendanaan lainnya (PT SMI (Sarana Multi Infrastruktur); PT IIF (Indonesia Infrastructure Finance); PT PII (Penjaminan Infrastruktur Indonesia)), serta investor swasta.

Indonesia sebenarnya sudah memiliki beberapa skema pendanaan untuk energi terbarukan melalui bank domestik, institusi pendanaan non-bank (seperti melalui PT SMI, PT IIF, dan PT PII), pendanaan dengan institusi pendanaan internasional (bersama KfW, JBIC, JICA, EIB, AFD, dan IFC), pendanaan melalui bank-bank pembangunan multilateral, skema pendanaan dengan menggunakan pendanaan Pemerintah, pendanaan berbasis ekuitas (PINA dan PMN), serta skema pendanaan lainnya melalui lembaga internasional dan multilateral (seperti melalui GCF dan GEF). Walaupun terdapat banyak pilihan pendanaan untuk energi terbarukan, namun ada banyak tantangan yang dihadapi oleh proyek-proyek pendanaan energi terbarukan, termasuk tantangan regulasi, resiko investasi untuk energi terbarukan dan isu-isu layak pinjam (bankability) untuk pendanaan proyek. Untuk mengatasi masalah pendanaan energi terbarukan di Indonesia ini, diperlukan intervensi dari Pemerintah sehingga permasalahan ini dapat diatasi. Misalnya, Pemerintah dapat membuat skema garansi dan asuransi proyek yang dapat diterapkan secara luas. Pemerintah juga perlu untuk memperbaiki isu-isu terkait dengan regulasi dan PPA yang layak pinjam (bankable PPA). Skema-skema pendanaan seperti VGF (Viability Gap Fund) dan Availability Payment (AP), juga diperlukan. Pengembang proyek juga memerlukan dampingan untuk mengakses beberapa pendanaan pengembangan proyek. Hal lain yang juga diperlukan adalah memasukkan energi terbarukan di dalam skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU, Public Private Partnership).

Bapak Edi Setijawan dalam paparannya menyatakan bahwa sebenarnya pendanaan bukanlah masalah, selama proyek tersebut mendatangkan keuntungan dan resiko yang muncul dapat dikontrol. Jika hal ini dapat dipastikan, maka akan ada banyak pihak yang mau mendanainya. Pendanaan untuk energi terbarukan dapat berasal dari pinjaman, obligasi, garansi, penerbitan saham, dan CSR (tanggung jawab sosial korporasi). Beberapa bank di Indonesia sendiri telah mulai mendanai proyek-proyek energi terbarukan sejak tahun 2015-2016. Peran dari pemangku kepentingan kunci untuk energi terbarukan perlu dioptimalkan; misalnya, peran Pemerintah, regulator pendanaan, serta institusi pendanaan internasional. Pemerintah diharapkan memberikan fokus, teknologi energi terbarukan apa saja yang akan dibiayai. Harga untuk energi terbarukan juga sedapat mungkin bisa menarik bagi investor. Tersedianya insentif serta informasi terkait dengan pendanaan yang ada, akan bermanfaat bagi para pengembang. Regulator pendanaan diharapkan dapat memainkan peran untuk menyusun regulasi dan panduan-panduan, peningkatan kapasitas dan juga diseminasi informasi. Sedangkan institusi pendanaan internasional diharapkan dapat memberikan informasi terkait dengan jaringan-jaringan pendanaan komersial, pendanaan pembangunan, serta untuk dampingan teknis.

Ibu Yayi dari BCA menyampaikan bahwa pendanaan sebenarnya dapat berasal dari domestik (bank dan non-bank) maupun pendanaan internasional, termasuk melalui KDB, JBIC, JICA, ADB, dan GCF. Indonesia memiliki regulasi perbankan yang harus diikuti, seperti POJK No. 40/2019. Regulasi ini memuat prinsip-prinsip perbankan dasarĀ  untuk menganalisis pendanaan proyek melalui 5C, yaitu character (karakter), capacity (kapasitas), capital (kapital), collateral (kolateral atau jaminan) dan condition of the economy (kondisi perekonomian). Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pendanaan energi terbarukan, yaitu sponsor, proyek, off-taker, dan kapasitas internal bank.

Diskusi yang berlangsung setelah paparan memunculkan beberapa poin yang cukup penting terkait dengan pendanaan energi terbarukan di Indonesia. Pertama, terkait pendanaan proyek-proyek energi terbarukan skala off-grid. Pendanaan yang diberlakukan dapat berupa kombinasi antara dana CSR dari sebuah bank, atau pendanaan waqaf di wilayah-wilayah yang belum dikembangkan. Proyek-proyek off-grid ini juga harus memiliki aturan yang jelas dengan PLN.

Hal lain yang juga muncul adalah mengetahui bahwa karakater pendanaan dari energi terbarukan ini adalah pendanaan jangka menengah hingga jangka panjang. Maka, pilihan pendanaan dari bank dapat juga berasal dari pasar kapital atau kombinasinya. Contohnya, untuk membangun sebuah pembangkit biomassa, diperlukan pendanaan yang besar. Pendanaan yang besar ini perlu dibagi bebannya. Sehingga pendanaan dengan porsi resiko yang kecil dapat didanai oleh bank, sedangkan porsi resiko yang besar, bisa diberikan pada institusi-institusi internasional.