Main content

Oleh: Henriette Imelda

Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) bekerja sama dengan Hivos, mengadakan sebuah diskusi virtual, terkait pelibatan Non-State Actors (NSA) dalam pencapaian target perubahan iklim yang ditetapkan oleh Indonesia di dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Diskusi ini berlangsung pada tanggal 23 Oktober 2020 yang lalu.

Materi diskusi ini dibawakan oleh Ibu Moekti Handajani Soejachmoen (Kuki) dari METI, dengan penanggap Bapak Harris Yahya, Direktur ANEKA Energi, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam dari sisi Pemerintah. Penanggap lainnya adalah Bapak Bagus Bramantio, Protfolio dan Business Development Manager, PT Pertamina Geothermal Energi (PGE).

Ibu Kuki memaparkan tentang aktor-aktor mana saja yang disebut sebagai NSA, yaitu yaitu sektor swasta, lembaga-lembaga non-pemerintah (seperti kelompok masyarakat sipil), dan akademisi. Namun, UNFCCC (United Nation Framework on Climate Change Convention) juga memasukkan pemerintah daerah sebagai bagian dari NSA. Itu sebabnya, pembicaraan terkait NSA, juga akan meliputi pemerintah daerah.

Di Indonesia, khususnya di sektor energi terbarukan, peran pemerintah daerah cukup besar. Misalnya dalam menerbitkan ijin untuk kegiatan-kegiatan energi terbarukan, penyusunan Rencana Umum Energi Daerah (RUED), implementasi rencana aksi daerah untuk penurunan emisi gas rumah kaca (terutama dari segi penganggaran), serta beberapa inisiatif kota terkait aksi iklim yang juga mencakup pengembangan energi terbarukan. Untuk NSA lainnya, peran yang dapat dilakukan adalah penyediaan energi dari sisi kelistrikan, pengembangan listrik pedesaan, terutama system off-grid, serta di sektor transportasi. NSA lainnya juga berperan dalam melakukan kampanye atau studi yang berhubungan dengan transisi energi menuju energi terbarukan. Walaupun NSA dapat berperan cukup besar di dalam pengembangan energi terbarukan dan pengurangan emisi gas rumah kaca, namun saat ini peran NSA belum dimanfaatkan secara optimal. Diperlukan kebijakan dan regulasi yang mendukung, kondisi-kondisi pemungkin, serta pendanaan energi terbarukan agar NSA dapat melakukannya perannya.

Itu sebabnya, Indonesia perlu untuk menyusun dasar hukum bagi implementasi aksi perubahan iklim serta melakukan penyelarasan kebijakan dan regulasi di sektor-sektor terkait. Hal lain yang perlu untuk dilakukan oleh Pemerintah Indonesia adalah pengaturan terkait carbon pricing dan pasar karbon domestik, serta penguatan koordinasi dan penyelarasan pandangan antara kementerian dan lembaga, BUMN, serta aktor-aktor bisnis lainnya. Negara juga perlu untuk memperhitungkan penurunan emisi dari kegiatan-kegiatan adaptasi yang dilakukan (misalnya dengan menggunakan solar water pumping untuk penyediaan air bersih).

Bapak Harris Yahya memaparkan bahwa saat ini belum ada panduan spesifik untuk mengatur kontribusi sektor-sektor yang terdapat di dalam NDC Indonesia, untuk memenuhi target penurunan emisi gas rumah kaca. Misalnya, mekanisme apa yang dapat digunakan oleh sektor energi terbarukan, sehingga dapat berkontribusi pada penurunan emisi gas rumah kaca. Terkait dengan peran pemerintah daerah, saat ini kebanyakan aksi-aksi penurunan emisi dilakukan dengan menggunakan kebijakan-kebijakan yang terpusat, termasuk kegiatan-kegiatan implementasi kebijakan energi yang anggarannya berasal dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM). Hal ini menyebabkan peran pemerintah daerah kurang maksimal. Saat ini Pemerintah sedang berupaya untuk menyusun kebijakan untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan di Indonesia, yang dimulai dari kebijakan harga energi terbarukan.

Bapak Bagus Bramantio menyatakan bahwa saat ini belum ada mekanisme yang jelas terkait dengan peran energi terbarukan untuk memenuhi target NDC, begitu juga dengan sistem pelaporan yang terintegrasi. Sektor energi terbarukan masih menghadapi hambatan terkait perijinan, harga, pendanaan, serta dalam pengembangan sistem off-grid. Bapak Bagus mengusulkan pentingnya sertifikat energi terbarukan, terutama untuk industri-industri yang termasuk di dalam kelompok industri RE100. Pendanaan hijau, juga diperlukan untuk menyediakan dukungan dalam pengembangan energi terbarukan. Skema power wheeling juga memerlukan dukungan pemangku kepentingan yang terkait, agar dapat diimplementasikan. Insentif finansial yang dapat dikembangkan misalnya yang berasal dari kredit karbon, juga diperlukan serta subsidi untuk pengembangan energi terbarukan dalam meningkatkan nilai ekonomi dari proyek tertentu. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah regulasi, terutama untuk mengembangkan energi terbarukan dalam mendukung ketahanan energi nasional.

Diskusi ini memperkuat pernyataan bahwa NSA memang memiliki peranan penting dalam pencapaian NDC, dan Pemerintah dapat menggandeng NSA untuk mencapai target perubahan iklim tersebut. Walau demikian, memang diperlukan kepastian terutama dari sisi regulasi, terkait dengan peran energi terbarukan yang sebenarnya diinginkan dalam mencapai NDC. Diskusi ini juga menyatakan bahwa setiap sektor harus membenahi regulasi yang ada di sektor mereka, sehingga memungkinkan terjadinya penurunan emisi gas rumah kaca yang lebih ambisius. Regulasi tersebut juga seharusnya dapat memasukkan NSA sebagai salah satu aktor yang dapat dilibatkan untuk mencapai target penurunan emisi Indonesia.