Menilik kinerja Green Climate Fund di akhir 2020
Oleh Henriette Imelda, Hivos Southeast Asia
Pertemuan dewan Green Climate Fund (GCF Board Meeting) ke-27 (B27) akan berlangsung kembali di tanggal 9-13 November 2020 secara virtual. Ini merupakan pertemuan dewan GCF yang kedua yang dilakukan secara virtual, dikarenakan masa pandemi covid-19 yang berlangsung di seluruh dunia. Pertemuan ini juga merupakan pertemuan terakhir dewan GCF di tahun 2020, dan menjadi pertemuan yang penting memasuki masa first replenishment GCF.
Kontribusi GCF hingga saat ini
Pada pertemuan dewan GCF ke-27 mendatang, terdapat 16 proposal yang diajukan, termasuk 3 proposal yang menggunakan jalur simplified approval process (proses persetujuan yang disederhanakan). Seluruh proposal ini meminta pendanaan GCF sebesar USD 1,011.7 juta dollar, yang terdiri dari hibah, pinjaman, dan juga pembayaran berbasis kinerja.
Sebagai lembaga pendanaan perubahan iklim dengan komitmen pendanaan terbesar di dunia, GCF mendapatkan komitmen kontribusi sebesar USD 10 milyar di tahun 2014 (komitmen pertama ini disebut sebagai Initial Resource Mobilization), namun yang terealisasi hanya sekitar USD 8,3 milyar. Untuk periode penambahan pertama (first replenishment atau GCF-1) total komitmen pendanaan GCF mencapai USD 9,9 milyar. Per Oktober 2020, sebanyak 18 negara dari 31 negara yang berkomitmen untuk berkontribusi pada GCF-1, telah memastikan kontribusinya sejumlah total USD 3,8 milyar.
Sampai dengan 31 Desember 2019, GCF telah memiliki 122 proyek yang disetujui dengan nilai USD 5.1 milyar, di mana sebanyak 75 proyek diantaranya berada dalam tahap implementasi (senilai USD 1,8 milyar). Wilayah Asia Pasifik memiliki portfolio terbesar (34%, USD 1.16 milyar) dengan 30 proyek yang tersebar di 23 negara. Portfolio proposal GCF menunjukkan bahwa saat ini sebanyak 49% proyek GCF adalah proyek adaptasi (37 dari 75 proyek), sedangkan 23% adalah proyek mitigasi (17 dari 75 proyek), dan proyek cross-cutting sebanyak 28%.
Hingga 31 Desember 2019, GCF telah menyalurkan dana perubahan iklim sejumlah USD 904, yaitu 27% dari total portfolio yang berada dalam tahap implementasi. Sebesar 53% dari portfolio GCF merupakan pendanaan dengan instrumen pinjaman (USD 476 juta), hibah sebesar 46% (USD 419 juta), sedangkan dalam bentuk equity sebesar 1% (USD 9 juta). Sejauh ini, sebesar 15% dari total penurunan emisi gas rumah kaca telah tercapai (48 juta ton CO2-ek), dan terdapat 10 juta penerima manfaat langsung maupun tidak langsung (4%) dari total target adaptasi yang dicapai dari proyek-proyek yang dalam tahap implementasi.
Selain itu, GCF juga telah menyalurkan pendanaan untuk Readiness Support dan Project Preparation Facility (PPF). Terhitung hingga 31 Desember 2019, terdapat 27 hibah untuk PPF yang telah disetujui senilai total USD 18 juta. Sebesar USD 12 juta telah disalurkan ke 24 pengajuan PPF, di mana satu diantaranya, telah menyelesaikan program hibahnya. Per 31 Desember 2019 pula, GCF telah menyetujui 366 proposal hibah untuk readiness program, di 138 negara dengan total pendanaan yang disetujui sebesar USD 226 juta.
Mempersiapkan diri menjelang periode GCF-1
Memasuki masa-masa transisi menuju periode GCF-1 mendatang, GCF mulai mengevaluasi beberapa kebijakan yang berlaku terutama yang terkait dengan pengajuan proposal. Dua agenda yang akan dibahas terkait dengan hal ini adalah country ownership dan integrated results management framework (IRMF).
Pada tahun 2019, Independent Evaluation Unit (IEU) dari GCF mengeluarkan sebuah laporan terkait dengan implementasi country ownership di dalam kegiatan-kegiatan GCF, termasuk pengajuan proposal. IEU melakukan evaluasi terhadap GCF terkait dengan 3 pilar: (i) kepemimpinan negara proses-proses strategis dalam mengindentifikasi investasi dengan menggunakan dana GCF, termasuk pelibatan pemangku kepentingan; (ii) kapasitas negara, dimana para pemangku kepentingan negara memiliki kapasitas dalam perencanaan, pengelolaan dan mengimplementasikan kegiatan-kegiatan yang menjawab tujuan-tujuan GCF; dan (iii) bagaimana GCF dan negara berbagi tanggung jawab serta akuntabilitas. Hasil evaluasi ini menyatakan bahwa secara keseluruhan, GCF sebenarnya telah mengidentifikasi elemen-elemen yang tepat terkait dengan country ownership. Hanya saja, hingga saat ini penerapan elemen-elemen ini masih belum memadai di dalam kebijakan, panduan, dukungan dan upaya-upaya terkait akuntabilitas yang ada. Oleh karena itu, GCF perlu untuk melihat kembali ambisi dan visinya terkait dengan country ownership. Salah satunya dengan membuat country ownership sebagai kondisi yang wajib, bukan hanya sekedar menjadi kriteria, terutama dalam pengambilan keputusan untuk pendanaan. Hal lainnya terkait dengan panduan dan dukungan bagi negara, terkait dengan country ownership itu sendiri. Salah satunya dengan cara memperkuat kapasitas dari NDA/focal point.
Hal lain yang akan dibahas terkait dengan integrated results management framework. Evaluasi yang dilakukan oleh IEU di tahun 2018, menyatakan bahwa lebih dari dua per tiga proposal yang disetujui dewan GCF (pada waktu itu), tidak secara jelas menyatakan keterkaitan antara kegiatan yang dilakukan dengan dampak-dampak yang diinginkan. Sebesar 40% diantara proposal tersebut dinyatakan tidak memiliki indikator terkait dampak proyek/program, dan 70% di antaranya terkait dengan perencanaan dan penganggaran untuk monitoring dan evaluasi yang tidak memadai. Itu sebabnya, untuk mencegah hal ini terulang kembali, pada periode GCF-1, akan diberlakukan apa yang disebut dengan Integrated Results Management Framework (IRMF) untuk merevisi Result Management Framework (RMF) yang saat ini berlaku.
Arahan GCF paska 2020
Hal yang mungkin menarik untuk diamati dari dinamika pendanaan GCF adalah bagaimana rencana pendanaan GCF ke depan, dalam rentang periode GCF-1. Rencana strategis GCF untuk tahun 2020 – 2023 akan menjadi salah satu agenda pembahasan rapat dewan GCF mendatang, dan menjadi salah satu agenda yang ditunggu-tunggu pembahasannya. Pandemi covid-19 yang saat ini terjadi dapat menjadi komponen yang memberikan pengaruh signifikan untuk alokasi pendanaan GCF ke depan. Belum lagi, paska 2020 menjadi tahun dimana Persetujuan Paris (Paris Agreement) mulai memasuki masa implementasinya. Untuk mencapai tujuan tertinggi dari Konvensi Perubahan Iklim, kontribusi GCF untuk mendanai aksi-aksi perubahan iklim, sudah pasti diharapkan untuk menjadi lebih ambisius.