Main content

Oleh Lina Noviandari, Knowledge Management Consultant Strategic Partnership Green and Inclusive Energy

Dengan ikut meratifikasi Perjanjian Paris pada tahun 2016, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi 29 persen (dengan skenario BAU) atau hingga 41 persen (dengan bantuan internasional) pada 2030, seperti yang tertuang dalam NDC (nationally determined contribution). Salah satu strategi yang dinilai potensial untuk mendorong tercapainya target tersebut adalah dengan menerapkan carbon pricing atau nilai ekonomi karbon (NEK).

Untuk membahas hal tersebut, pada 20 Oktober 2020, Mongabay Indonesia kembali menyelenggarakan Forum Belajar Jurnalis untuk Energi Terbarukan yang dikemas dalam bentuk webinar.

Pertimbangan dan peluang ekonomi NEK

Melalui presentasinya, Kuki Soejachmoen, Asisten Utusan Khusus Presiden Pengendalian Perubahan Iklim (UKP-PPI) tahun 2010-2019, menyampaikan bahwa NEK adalah strategi pengendalian emisi berbasis pasar dengan cara memberikan nilai ekonomi atau harga terhadap emisi gas rumah kaca. Pemberian harga ini ditentukan berdasarkan dampak iklim yang timbul dan peluang opsi rendah karbon, atau dalam ekonomi disebut internalisasi biaya eksternal.

Dengan prinsip polluter pays, NEK dibebankan kepada pihak yang menghasilkan emisi. Semakin banyak emisi yang dihasilkan, maka semakin besar harga yang harus dibayarkan. Dengan NEK, diharapkan bisnis atau pihak terkait lain mempertimbangkan praktik pembangunannya dengan memilih yang lebih rendah karbon. Selain menekan biaya eksternalitas mereka, peralihan ke praktik yang lebih rendah karbon ini tentunya secara langsung juga akan berpotensi menjaga lingkungan dan mendorong investasi teknologi bersih.

Kuki menjelaskan bahwa saat ini NEK memiliki beberapa opsi instrumen, di antaranya adalah carbon tax atau pajak karbon, memberikan harga tertentu atas emisi GRK, semakin tinggi emisi, semakin mahal yang dibayarkan; emission trading system (ETS), menetapkan batasan (cap) emisi GRK yang dapat diemisikan (ijin emisi), jika melebihi harus memenuhinya dengan membeli ijin emisi lain atau offset; crediting mechanism, diberikannya kredit atas reduksi emisi GRK yang dihasilkan, dan kredit ini yang akan dapat diperjualbelikan, termasuk sebagai offset; results-based climate finance (RBCF), pembayaran (mekanisme pendanaan, bukan jual-beli) dilakukan jika reduksi emisi telah dilakukan berdasarkan verifikasi oleh pihak independen; dan internal carbon pricing, penentuan harga karbon secara internal terutama dalam merencanakan investasi.

Karena bisa diperjualbelikan, NEK tentunya membuka peluang tersendiri sebagai sebuah sumber penghasilan.

Kebijakan NEK di Indonesia

Adapun kebijakan terkait NEK, menurut Andri Akbar Marthen, Co-founder Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID), hingga kini Indonesia belum mempunyai payung hukum. UU No.16/2016 tentang Pengesahan Perjanjian Paris hanya menegaskan komitmen Indonesia di kancah internasional, tetapi tidak dengan penerapannya di level nasional.

Saat ini Pemerintah, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), tengah menyusun Perpres yang akan mengatur penerapan NEK mulai dari mekanisme perdagangan karbon, pembayaran, hingga pembentukan instrumen pengendalian dan pengawasan. Menurut Andri, Perpres ini bisa dijadikan sebagai pintu masuk. Dia menambahkan, Pemerintah perlu memasukkan unsur pelibatan masyarakat dan pelaku usaha baik dalam pendanaan maupun aktivitas upaya penurunan emisi GRK.

Masih terkait Perpres NEK, Nadia Hadad, Strategic Engagement Director Yayasan Madani Berkelanjutan, menyampaikan bahwa rancangan Perpres terkini sudah memasukkan penekanan hak masyarakat untuk mendapatkan perlindungan dari dampak perubahan iklim dan manfaat nilai ekonomi karbon untuk masyarakat. Namun, menurut Nadia, Pemerintah masih perlu mengelaborasi terkait hal ini serta mencakup seluruh mekanisme NEK, tidak hanya dalam perdagangan.

Peran perempuan adat dalam NEK

Pada acara yang sama, Devi Anggraini, Ketua umum PEREMPUAN AMAN, menyampaikan pentingnya pelibatan penuh masyarakat adat, khususnya perempuan adat dalam kelembagaan/mekanisme pengelolaan, tahapan (perencanaan, pelaksanaan, persetujuan), dan benefit sharing. Pasalnya, menurut Devi, sebagai aktor kunci penjaga ketahanan hidup komunitasnya, perspektif dan kepentingan mereka untuk menjaga dan mengelola hutan dan wilayah adat bisa memastikan pemenuhan kehidupan yang berkelanjutan.

Devi menambahkan, untuk melakukan hal tersebut, Pemerintah bisa mengutus perempuan adat dalam kelembagaan, meningkatkan kapasitas perempuan adat dalam merespon ekonomi karbon, serta menyediakan dana khusus bagi mereka. Namun, yang lebih utama, Pemerintah perlu memenuhi kepastian tenurial terlebih dahulu, dan memberikan pengakuan pada pengetahuan perempuan adat dalam pengelolaan hutan dan wilayah adatnya.

Simak diskusi tentang NEK selengkapnya di bawah: