Anggota Balai Perempuan: “Pola Pikir Kami Tentang Isu Energi Berubah”
Dengarkan audionya:
Oleh Lina Noviandari, Knowledge Management Consultant Strategic Partnership Green and Inclusive Energy
Pada 27 September 2019, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengadakan sebuah acara yang bertajuk “Monitoring & Evaluation: Program Kampanye Kebijakan dan Peningkatan Kesadaran Masyarakat Konsumen Terhadap Permasalahan Energi Bersih di Jawa Tengah”. Acara ini dihadiri oleh perwakilan Balai Perempuan[1] (BP) dari Kabupaten Semarang dan Salatiga, LP2K (Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), dan Hivos.
Sesuai dengan namanya, acara ini bertujuan untuk melihat sejauh mana keberhasilan program yang dijalankan YLKI di Jawa Tengah serta meminta masukan dari anggota BP yang merupakan peserta atau penerima manfaat dari program. Program ini sendiri dijalankan YLKI di bawah kerangka Strategic Partnership for Green and Inclusive Energy (SP-Energy). Kemitraan strategis yang aktif sejak 2016 ini diinisiasi oleh Hivos dengan menggandeng tiga CSO sebagai partner yakni YLKI (dari kelompok konsumen), KPI (dari kelompok perempuan), dan IESR (berfokus pada isu energi). Beberapa kegiatan yang dilakukan dalam program ini adalah survei konsumsi energi, edukasi mengenai isu energi, dan sosialisasi produk alternatif yang lebih ramah lingkungan seperti TSHE dan kompor minyak jelantah.
Pola pikir terhadap isu energi yang berubah
Pada kesempatan ini, anggota Balai Perempuan menceritakan pengalaman serta perubahan yang mereka rasakan setelah mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh YLKI dalam mengkampanyekan pemanfaatan energi terbarukan. Mereka juga memberi masukan memperbaiki kinerja YLKI kedepannya.
Hiedayah yang merupakan ketua cabang BP di Salatiga misalnya, mengaku tidak tahu atau tidak sadar akan isu energi sebelum mengikuti kegiatan SP-Energy. Dulu, Hiedayah berpikir bahwa isu energi hanya berkaitan dengan energi yang menyasar skala besar. Setelah mengikuti kegiatan dan diskusi, dia mulai paham bahwa ternyata isu energi punya kaitan erat dengan haknya sebagai konsumen dan ibu rumah tangga.
Perubahan pola pikir juga dirasakan oleh Arini. Dia mengaku bahwa kini, pola pikirnya tentang hemat energi sudah berubah. Dulu, upaya hemat energi ia lakukan semata-mata hanya untuk menjalankan program yang ada dan untuk kepentingan pribadi. Kini dia sadar bahwa isu energi merupakan isu bersama--masyarakat harus menghemat energi karena suatu saat akan habis. Arini mengaku bahwa di setiap kesempatan, dirinya selalu menghimbau orang-orang untuk menghemat energi, penggunaan lampu, air dsb. Pengalaman dengan YLKI mendorong Arini untuk menyadarkan orang lain.
Dalam hal organisasi, Indah yang merupakan Sekretaris Wilayah KPI untuk Jawa Tengah mengaku senang karena sekarang para anggota BP Kabupaten Semarang dan Salatiga sudah mulai sadar terhadap isu energi, hak-hak mereka sebagai konsumen, dan sudah mulai mengadvokasi ke pemangku kebijakan. Selain itu, nama KPI juga makin dikenal dan dipercaya. Ia memberi contoh bahwa kini Lurah Desa Bener dan Kapolsek Tengaran sudah memberikan ruang pada KPI untuk mengajukan proposal kegiatan yang berkaitan dengan energi.
Selain membagikan cerita tentang perubahan positif yang terjadi dalam hidup mereka, para anggota BP juga menceritakan kendala-kendala yang mereka hadapi serta saran untuk program kedepannya. Para anggota BP, khususnya di Salatiga—yang mayoritas masyarakat perkotaan—menceritakan bahwa banyak masyarakat yang tidak menghiraukan sosialisasi yang mereka berikan tentang produk alternatif seperti TSHE dan kompor minyak jelantah. Alasannya, mereka tidak lagi menggunakan produk-produk jenis ini. Oleh karena itu, para anggota BP Salatiga menyarankan perlunya diperkenalkan produk alternatif energi yang menyasar masyarakat perkotaan.
Saran lain yang mereka berikan adalah diperbanyaknya pelatihan yang lebih praktikal dan riil, misalnya demo membandingkan efisiensi produk energi. Mereka juga menyarankan YLKI untuk memberikan pendidikan energi tidak hanya ke orang dewasa, tapi juga ke pelajar. Selain itu, pendampingan yang intensif serta kunjungan ke desa-desa lain sebagai percontohan juga diperlukan.
[1] Balai perempuan (BP) merupakan kesatuan anggota KPI dalam suatu komunitas/desa/kelurahan, dengan minimal anggota sebanyak 30 orang.